Di sebuah persimpangan jalan, Cak Nun mendekat. Ia terlihat membawa sebuah
lukisan yang dibopongnya, sedikit besar dan terlihat lumayan berat. Ia tak
memperdulikan lalu lalang orang, tetap saja melaju ke arahku. Terlihat di
sebrangku warung kopi giras dengan beberapa orang dewasa sedang ngopi di siang
hari, sekitar ba’da dhuhur. Waktu itu aku sedang berada di lantai atas sebuah
gedung.
Cak Nun tiba di lantai bawah, dia menaruh lukisan yang sedari tadi ia bawa.
Aku teringat bahwa di rumahku ada 2 lukisan dari temanku yang untuk diserahkan
kepada Cak Nun, aku juga sempat heran, kenapa dititipkan ke aku, padahal sekali
pun aku tidak pernah bertemu Cak Nun. Siang itu, aneh juga, walau pertama kali
berjumpa dengannya, aku seperti sudah mengenal lama seorang Nadjib (Cak Nun).
Dia terlihat lumayan kelelahan karena membawa lukisan tadi, lalu melihat ke
arahku. Aku pun menyapanya, terjadi percakapan singkat di antara kami, sampai
pada saat aku teringat akan lukisan teman-teman di rumah,
“Sampean kapan
ada waktu, ada titipan buat sampean dari teman-temanku, 2 lukisan, masih di
rumahku.”
Cak Nun pun menimpali yang intinya dia sangat sibuk, dan jadwalnya padat,
sulit untuknya bisa berlama-lama. Di tengah percakapan kami, terlintas seorang
bapak-bapak agak tua mengendarai sepeda motor, ketika lumayan dekat dengan Cak
Nun, dia berujar setengah berteriak,
“Lapo Nun ?!”
“Nang
omahe Yudi!”, timpal Cak Nun disusul dengan
gelak tawanya, lalu orang-orang yang berada di warung juga ikut tertawa, entah
menertawakan apa, yang ku pikirkan, Yudi adalah nama asal sebut, demi menyambut
sapaan bapak-bapak tua yang tadi melintas, Cak Nun seperti biasa terlihat akrab
dengan siapapun.
Candaku dengan Cak Nun
sudah semakin jauh, kami saling jual beli candaan layaknya kawan lama yang
dipertemukan kembali. Meski jarak percakapan yang lumayan jauh, dan saling
berteriak, kami terlihat intim di dalamnya. Cak Nun lalu mendekat ke arah
warung dan berniat duduk bersama para warga lainnya, hingga kalimatku,
“Ojo sampek aku emosi yo!”, nadaku
sambil berteriak agak kencang, namun tetap dengan gimik bercanda.
Setelah kalimat itu terucap, semua orang tak terkecuali Cak Nun malah
tertawa hebat. Cak Nun bahkan kembali mendekat ke arahku sambil menantang,
“Lha kowe arep
ngopo?”
Entah sejak kapan, kakiku memutuskan untuk turun dari lantai atas dan
mendekat, ketika Cak Nun sudah kembali tepat di bawahku di lantai dasar, aku
langsung saja melompat ke hadaapannya dari posisiku yang masih di atas tadi.
Kini kami berhadapan dan saling bersalaman, ku cium tangannya, Cak Nun walau
lebih seperti kawan, bagiku dia tetaplah seseorang guru. Lalu kembali ku bahas
soal 2 lukisan temanku,
“Ayo to, disempatkan, engko aku wedi dianggep gak amanah karo koncoku”,
kataku memelas.
Cak Nun yang kini di sampingku lalu menoleh ke arahku, dia berujar yang
pada intinya melihatku sebagai sosok yang amanah, lalu disusul gelak tawa.
Percakapan kami semakin jauh, kami masuk ke dalam bangunan di lantai dasar,
duduk bersila berhadap-hadapan, ku sadari bahwa ternyata bangunan tersebut
adalah mirip parkir basement sebuah mall. Kami habiskan waktu bercengkramah
cukup lama, sampai tiba-tiba ada lantunan puji-pujian yang menyita perhatian
kami,
“Sampean krungu ta ?”, tanyaku.
Anggukan Cak Nun sudah
mewakili jawabannya. Kami sedikit menikmati suara yang entah dari mana
datangnya, kemudian semakin keras, dan ternyata terlihat di seberang kami
sebelah kanan, agak jauh, sekitar 50 meter, ada segerombolan warga yang
menggotong sebuah peti mati berselimutkan kain hijau berlafadzkan tauhid,
mereka menjauh, terlihat menaiki tangga menuju arah bangunan yang lebih tinggi.
Perhatianku tersita ketika
terdengar olehku sebuah suara bantingan benda keras dari arah kerumunan pembawa
jenazah tadi, ku amati mereka, terasa aneh. Di dalam hati aku ingin segera
menyusulnya. Lalu keributan di antara penggotong-penggotong jenazah tadi pecah,
entah karena sebab apa, aku pun tak jelas.
Aku melupakan Cak Nun, aku
mengikuti di belakang rombongan mereka hingga cukup dekat, mungkin sisa 10
meter aku tepat di belakang mereka. Tiba-Tiba, aku melihat sosok Cak Nun tanpa
menggunakan kupluknya, namun yang aneh rambutnya tampak sedikit lebih gondrong
dari biasanya, langsung berlari memecah barisan para rombongan pembawa jenazah
dan merangsek ke depan, hingga tak lagi terlihat olehku.
Anehnya, setelah itu ku
lihat lagi sosok Cak Nun yang kedua, kali ini aku berani bersaksi bahwa dialah
Nadjib yang tadi bercakap denganku, tak lupa kupluk khasnya berwarna merah
putih. Dia pun merangsek masuk ke dalam rombongan. Kali ini ku beranikan diri
menyusulnya.
Lalu ku lihat pemandangan
yang amat sangat mengejutkan, para penggotong jenazah tadi telah berada dalam
situasi yang chaos, peti sudah berada
di lantai, dibiarkan terbuka, aku jauh lebih terkejut lagi, kini dibarengi
dengan merindingnya sekujur tubuhku setelah melihat bahwa jenazah yang
sebelumnya mereka gotong, tergeletak tak terurus di samping petinya. Kala itu,
di pojokan ruangan serupa parkir mall tua. Aku melihat bahkan ada sesosok
pemuda paruh baya yang bersiap seakan mau membakar jenazah itu, ia menggenggam
sebuah korek api tua. Pikirku, apa yang hendak mereka lakukan ?, apa yang telah
diperbuat si jenazah hingga ia mendapat perlakuan keji seperti ini?.
Situasi makin menegangkan
kala ku lihat sekitar 2-3 orang menyiramkan cairan entah bensin atau apa ke
arah peti dan sebuah kotak instalasi listrik di dekat peti tersebut. Pikirku
sudah melayang kemana-mana, apakah orang-orang ini sudah cukup gila dengan mau
membakar atau meledakkan peti beserta jenazah yang ada di sampingnya. Lalu,
cairan tersebut disiramkan ke tanah, dibawanya ke arah yang dirasa lebih aman
untuk menyalakannya dengan api.
Orang paruh baya yang sebelumnya
ku lihat menggenggam korek api tua itu kini bersiap melemparkan koreknya,
sontak gerombolan yang lain pergi menjauhi ledakan yang kami rasa memang akan
cukup besar, mengingat di sana ada panel listrik yang juga ikut disiram bensin.
Ketika orang-orang pergi
menjauh, terlihat di mataku Cak Nun malah berdiri tenang di hadapan peti
tersebut, mungkin jaraknya hanya sekitar 2 meter. Saking kagetnya, aku tak lagi
sadar, apakah itu Cak Nun yang asli, ataukah yang palsu yang sebelumnya ku
lihat. Aku pun sontak mendekatinya, aku mengajaknya lari tapi ia tak bergeming.
Lalu aku pun pergi menjauh, bahkan aku berlari cukup kencang ke lantai yang
lebih tinggi bersama orang-orang yang lebih dulu berlarian ke sana.
Korek pun dilempar dari
kejauhan, tapi belum juga terdengar atau terlihat ledakan disertai api besar,
hanya api-api kecil yang membakar sedikit ujung peti dan di sekitar lokasi tempat
peti, jenazah dan Cak Nun berdiri. Ku beranikan untuk mengintip Cak Nun, aku
sedikit kaget ketika dia mengambil langkah kuda-kuda lalu mengarahkan kedua
tangannya ke arah api yang membakar ujung peti mati, lalu sekejap, api pun
padam. Kini aku lebih yakin dan mendekat ke samping Cak Nun. Ku dengar dia
melafadzkan sebuah doa untuk para segerombolan orang-orang yang menyebabkan
kekacauan ini, lalu lagi, tangannya di arahkan ke para gerombolan tadi,
lengkap, semua sisi dimana gerombolan tadi berada, disisir oleh tangan Cak Nun.
Situasi berubah hening seketika. Sampai aku melihat di ujung sisi bangunan, ada
perselisihan kecil antar sesama gerombolan yang ku tau tadinya mereka berkawan
baik dan dari 1 golongan, tiba tiba perselisihan tersebut menyebar ke
kelompok-kelompok kecil lainnya hingga mereka bermusuhan satu dengan yang lain,
mengacuhkan kami, meninggalkan kami berdua bersama seonggok jenazah yang tak
terurus.
Sontak aku pun tercengang, ku beranikan untuk melepas kalimat,
“Ayo kita urus!”, pintaku singkat.
“Ayo!”, jawab Cak Nun singkat pula.
Aku belum sempat menengok
keadaan si jenazah. Yang ku tau, tempat di sekitarnya sudah sangat kotor dan kacau,
layaknya tempat yang habis terbakar. Cak Nun sudah memegang baskom beserta air yang
entah dari mana ia dapat. Mungkin karena saking gemetarnya, aku terlalu lama terpaku.
Semua situasi tadi memang di luar nalar.
Aku pun meminta air kepada Cak Nun untuk membersihkan jenazah dan tempat di
sekitarnya. Lalu Cak Nun mengambil air di toilet yang ternyata berada dekat
dengan kami, aku mendekatinya, ku ambil ember yang berada di sana. Ku bawa
mendekat ke arah jenazah dan sekali lagi aku tercengang. Ada beberapa hal yang
membuatku sangat kaget; (1) Keadaan di sekitar jenazah itu memang sangat
memprihatinkan, namun penampilan jenazahnya sendiri masih cukup baik (2) Ku
sadari ternyata jenazah tersebut tak dikafani (3) Ku amati baik-baik, sangkaan
pertamaku jenazahnya telah terbakar dan menjadi tulang-belulang, namun ternyata
tidak. Si jenazah terlihat kecil karena memang si jenazah adalah anak kecil.
Si jenazah hanya ditutupi oleh selembar kain putih. Ku beranikan untuk membukanya.
Alangkah terkejutnya aku, ketika ku dapati si jenazah anak tersebut ternyata
masih lengkap dengan alat pendukung kehidupan. Aku pun mengambil air lagi,
setelah ku tengok, aku kembali dikejutkan oleh gerakan tangan dan kaki anak
kecil yang ku kira berjenis kelamin perempuan itu. Aku sontak berteriak kepada
Cak Nun,
“Cak ! Jenazah ini masih hidup !”, teriakku pada Cak Nun yang masih
sibuk mengurusi tempat di sekitar kami.
Aku sontak mendekatinya, mendekapnya, lalu ku rasakan hembusan nafas yang
cukup kencang dari bagian dada yang ternyata berlubang. Naasnya, tak hanya
terdapat 1 lubang, ku lihat ada sayatan lain di bagian kiri dada anak tersebut.
Nafasnya tersengal-sengal, dia memberi isyarat untuk membenarkan posisi
berbaringnya, lalu aku pun mengangkatnya supaya dalam posisi yang lebih enak
untuk bernafas,
“Sabar ya dek, sebentar..., tetaplah hidup, sabar...kamu harus kuat...”,
kataku sambil mengelus wajahnya yang entah karena komplikasi penyakit apa,
hingga membuat wajahnya pun tak seperti orang normal.
Berkali-kali aku kuatkan hatinya, ku beri motivasi untuk tetap berjuang melawan
keterbatasannya. Selebihnya tak ada lagi yang bisa ku lakukan.
Terakhir, ku beranikan mendaratkan sebuah ciuman ke pipinya.
0 Comments: