Identitas Diri dan Stigma

‘Kita dulu dipertautkan Tuhan dalam keheningan perasaan, lengkap beserta melodi-melodinya, seperti angin yang menyeka mawar~’

Prosa itu saya ungkapkan 4 tahun silam kepada wanita blesteran Jawa-Tionghoa yang kemudian luluh dan berkenan menambatkan hatinya pada saya. Menikah dengan seseorang yang berbeda suku, apalagi keturunan Tionghoa merupakan hal yang cukup tabu di keluarga besar saya, maklum, karena pada dasarnya, keluarga saya berasal dari desa yang notabene kesan eksklusifitas ke-Jawa-annya masih amat kental. Meski demikian, tidak mempengaruhi sedikitpun penerimaan keluarga besar saya terhadap istri, walau di luar sana, stigma dan isu tentang ke-Tionghoa-an tidak banyak berubah. Inilah yang menurut saya aplikasi real dari sebuah konsep adi luhung warisan budaya Nusantara bernama toleransi.
Cina Benteng Wedding by Wikimedia Commons CC BY-SA 3.0

Stigma negatif terkait ke-Tionghoa-an tak bisa dilepaskan dari munculnya Tiongkok sebagai salah satu kekuatan besar dunia. Hal ini membuat banyak orang Indonesia menjadi ketakutan dan cenderung paranoid terhadap apa saja yang berkaitan dengan Tiongkok, khususnya masyarakatnya, yang kini kita kenal dengan masyarakat Tionghoa. Kini, entah siapa yang mengawali, malah ada narasi seakan-akan Tiongkok akan melakukan invasi besar-besaran ke Ibu Pertiwi, yang dapat mengancam kelangsungan hidup kita sebagai warga negara Indonesia secara individual dan sebagai bangsa maupun negara. 

Kalau kita tarik jauh ke belakang, di zaman pergerakan, semua ketakutan (yang tidak jelas) yang kini terjadi, tidak lepas dari sejarah panjang politik identitas yang diberlakukan VOC untuk menjaga agar kaum Jawa dan keturunan Tionghoa tidak bersatu dan menyaingi perdagangan VOC. Kemudian dilanjutkan oleh Orde Baru yang banyak melakukan pembantaian terhadap warga keturunan Tionghoa. Selama masa Orde Baru inilah, berbagai stigma dan prasangka terhadap warga keturunan berkembang.
Ada yang bilang, orang Tionghoa itu pelit. Bagi saya, hal itu tidak sepenuhnya benar, buktinya, saya pernah bertemu orang Tionghoa yang memang benar-benar pelit, namun di lain kesempatan, saya juga bertemu orang yang memiliki perangai serupa dari suku dan ras lain. 
Ada yang bilang, orang Tionghoa itu tamak. Bagi saya, hal itu tidak sepenuhnya benar, buktinya, saya pernah kenal orang Tionghoa yang memang benar-benar tamak, namun di lain kesempatan, saya juga bertemu orang yang memiliki perangai serupa dari suku dan ras lain.
Ada yang bilang, orang Tionghoa itu suka memeras. Saya pun pernah mendengar hal serupa, namun saya juga kerap menemui orang yang memiliki perangai sejenis dari suku dan ras lain.

Ada yang bilang, orang Tionghoa tidak suka berbaur. Memang ada orang Tionghoa yang saya kenal yang tidak suka berbaur. Namun saya juga tau bahwa ada orang dari suku dan ras lain yang juga begitu.
Ada lagi yang bilang, bahwa orang Tionghoa itu mata duitan, semuanya kaya. Beberapa dari yang saya kenal memang demikian, tapi ada juga yang begitu dari suku dan ras lain.
Di samping itu semua, saya juga sering berjumpa dengan banyak orang Tionghoa yang sangat penyayang dan murah hati. Mereka suka melakukan kerja sosial kepada kelompok masyarakat mana pun yang kurang beruntung. Saya juga punya sahabat-sahabat dari keturunan Tionghoa yang sangat pendengar, sabar, murah hati, dan senang sekali berbagi apa pun yang mereka punya. Mereka juga orang-orang yang sangat toleran dan menghormati orang lain, termasuk menghormati perbedaan antara mereka dengan saya.

Saya bahagia sekali berkesempatan mengenal banyak orang Tionghoa, dan bahkan bisa menikahi salah seorang dari keturunannya. Sama bahagianya dengan mengenal banyak orang Jawa, orang Dayak, orang Madura, orang Sunda, dan orang-orang dari suku dan ras lain. Juga orang-orang dengan agama yang berbeda dengan saya. Perkenalan dengan banyak orang yang berlatar belakang berbeda ini mengajarkan saya banyak hal, satu yang paling penting adalah

Ke-suku-an dan ras hanya menjelaskan dari mana asal seseorang, tapi tidak menjelaskan apa pun mengenai karakter orang itu. Agama hanya menjelaskan apa yang dia yakini, tetapi sama sekali tidak bisa menjelaskan mengenai bagaimana dirinya sebagai seorang manusia.

Satu-satunya cara untuk dapat benar-benar mengetahui dan memahami mengenai bagaimana ‘way of lifeorang-orang dari suku, ras, dan agama lain adalah dengan membuka diri terhadap mereka. Ketika kita melakukannya, kita akan menemukan bahwa di balik semua identitas suku, ras, dan agama, setiap orang adalah sama dengan kita, satu dalam bingkai kemanusiaan. Semuanya saya yakin sama-sama menginginkan agar bisa hidup damai. Sama-sama ingin bekerja dalam rasa aman, sama-sama ingin memberi yang terbaik bagi keluarga, sama-sama ingin bermanfaat bagi orang lain, sama-sama ingin menyayangi dan disayangi, sama-sama ingin menjadi bagian dari masyarakat, dan sama-sama ingin membawa perubahan positif bagi peradaban dunia.
Last but not least, suku, ras, dan agama, bukanlah siapa mereka sesungguhnya. 

Suku, ras, dan agama akan tetap mulia tanpa campur tangan manusia, sedangkan kita akan tetap cidera jika tanpa campur tangan ketiganya. 

Muchammad Thoyib As

Karena setiap cerita memiliki makna~

Tinggalkan Balasan