Bianglala di Ujung Jendela
Aku tergeragap, terbangun dari sisa-sisa lamunanku, agak pulas menuju lapisan mimpi. Beberapa kebisingan menderu layu di daun telingaku, sayu-sayup mereka berseteru menguasai alam sadarku. Begitu samar dan lamat. Dada tak lagi bebas, ia perlahan menyesak. Aku pun hanya bisa diam, pikiran pun masih gamang. Hingga lambat laun, suara-suara yang sebelumnya, kian terdengar jelas. Ternyata itu suara seseorang, eh bukan, beberapa orang. Bebunyian itu mengalun dalam nada-nada yang dinamis, berdialog satu sama lain, mengeluarkan berbagai irama.
Salaya membayang di depan mata. Beberapa sungai kanal bersautan membentuk lengan panjang yang terus melambai kepadamu. Pagoda-pagoda istimewa sontak menjelma menjadi karib yang membersamai segera. Tak lupa beberapa komplek apartemen membentang, setumpukan gedung pun menjulang yang mungkin kelak tak sempat memberimu ruang lengang sekedar sapa, atau ruang lapang untuk sekedar tertawa dan saling menukar pandang dengan kami yang di sini. Setelah ini, mungkin hari-hari kita akan didominasi oleh samarnya bayang-bayang, yang sesekali diliputi oleh kaburnya putih kabut.
Lalu, akan ada masa dimana semua menjadi gelap, dan bahkan mungkin hitam pekat. Yaah, aku sadar, begitulah kehidupan. Katamu, hampir tak ada yang benar-benar statis di dunia ini, ya kan? Siapa yang bisa menjamin bahwa irama ini akan tetap hidup? Sometimes, mungkin kita bisa saling memaksa, tapi apalah arti jika hanya basa-basi belaka.
**
Tujuanmu menyeberangi samudera dan berpindah pasar malam adalah mendapatkan pendidikan kan? Tapi, semisal aku diberikan kesempatan untuk menasihatimu, maka nasihatku adalah, “Jangan sekedar bersekolah!”. Kenapa? karena sekolah dan pendidikan adalah dua hal yang berbeda. Pun, ijazah dan kemampuan adalah dua hal yang tak sama. Sebagai contoh kasus, yang masih hangat, dan sempat ku utarakan padamu kemarin sore, kita sama-sama dihebohkan oleh sebuah isu jual-beli ijazah palsu dari salah seorang figur publik yang ingin mencapai posisi/struktural tertentu.
Hal ini kian membuktikan, bahwa dewasa ini, gelar akademikhanya menjadi semacam atribut yang digunakan untuk bersolek, menambah prestise dan rasa percaya diri, serta jalan pintas untuk mencapai penghormatan dari publik, plus berbagai kemudahan hidup lainnya. Soal apakah itu menandakan pemiliknya menguasai suatu bidang ilmu yang dikaitkan dengan gelar itu atau tidak, agaknya, hal itu, kini menjadi tidak penting lagi.
Menghadapi zaman yang serba artifisial ini, apa boleh buat, pupur dan gincu dianggap lebih penting ketimbang segala yang substansial. Everything is money, bahkan untuk sebuah gelar akademik, kehormatan, dan bahkan harga diri. Hal ini juga semakin menohok kita dengan serangkaian pertanyaan tentang apa sih guna bersekolah? Tanpa bermaksud menafikan pendidikan formal, di sini akuhanya ingin melihat dari suatu sudut pandang filosofi dan esensial. Bahwa sekolah akan menjadi sangat berbahaya jika itu hanya dijadikan sebagai suatu sarana formalitas yang mengaburkan esensi dari sebuah pendidikan itu sendiri.
Yang harus ditekankan di sini ialah,terselenggaranya proses pendidikan yang mampu memberikan pencerahan dalam arti luas, baik itu lewat literasi, otodidak via internet, atau bahkan melibatkan diri secara langsung dalam kehidupan bermasyarakat. Kedepan, harapannya, melalui sebuah proses pendidikan yang substansial itu, dapat dihasilkan sumber daya manusia yang memang berkemampuan dan berkarakter kuat, orisinal, serta tangguh guna menghadapi dinamika dunia yang serba cepat, sehingga,mereka semua akan memiliki potensi untuk dapat menebar manfaat bagi sesamanya dan berinvestasi bagi generasi setelahnya. Ketika esensi ini dipahami, kita tidak akan cukup jika harus cerdas sendirian, namun juga akan terpicu untuk turut mencerdaskan masyarakat. Tidak turut andil dalam melebarkan jurang kesenjangan dengan menjadi penjajah masyarakat, tapi justru menjadi pusat rujukan bagi mereka para pencari jawaban kehidupan. Semoga apa yang kau harap lewat kepergianmu ini tercapai dan membawa keberkahan.
**
Meja Kerja, pukul 16.07 WIB.
Lagi-lagi, terdengar derap langkah yang perlahan menjauh, tiada henti, silih berganti. Dinding yang lusuh ini agaknya bukan benar-benar dinding yang bisa menahanmu, juga kalian. Dia sekedar batasan ruang yang bersifat fana. Bianglala di ujung jendela kini terlihat samar. Sesekali ia tampak, sesekali lenyap. Yang nyata hanyalah waktu, waktu yang disampaikan oleh jam dinding di sebrang meja kerjaku.
Yang ku tau, sekarang masih sekitar pukul 16, masih sore, dan kita masih hidup di bawah langit yang sama. Setidaknya, Tuhan telah memberkatiku dengan pertemuan kita, begitu pun dirimu mungkin akan memberikan kejutan yang lain melalui perpisahan ini. Hmm, benar katamu, kini aku bisa sepenuhnya menyepakati, bahwa ‘No matter how badly the bond between us might end, know that i will never forget you or the memories we made’. Tuhan, terima kasih!!!
**
Bagi seorang penikmat pasar malam, kehadiran bianglala merupakan anugerah terindah. Ketika hadirnya tak lagi ada, agaknya pasar malam tak lagi sempurna. Sebenarnya, masih terdapat banyak sekali pertanyaan yang menggelayuti pikiranku dan ingin ku tanyakan padamu: tentang kelokan kali brantas yang membentang dari kanjuruhan ke jenggala; tentang aroma sedap kopi arabica dan tembakau madura, tentang rapalan doa agar awan sudi untuk tak menangis, tentang tulisan yang membuat kita utuh, tentang mimpi-mimpi dan berbagai percobaan meraihnya, tentang bagaimana bersikap ketika kita berada pada situasi hectic dan pathetic di waktu yang bersamaan, juga tentang memandang kehidupan.
Bagaimanapun, pasar malam ini memberiku kesempatan untuk mengenalmu, lebih jauh dan lebih baik lagi. Kedepan, bila Tuhan (kembali) memberiku kesempatan yang demikian berharga, aku rela melakukannya. Hmm mungkin boleh untuk ribuan kali, bersamamu, juga badut-badut yang lain. Sungguh.
Terima kasih! Hanya ini, akhirnya, yang dapat kusampaikan, itu pun melalui tulisan ini. Tapi yakinlah, ucapan ini tulus kok, aku menjamin bahwa tidak ada hasrat ingin memuji atau hal-hal mulia lainnya yang menghendaki balasan dari pujian itu. Walau kata Killua Zoldyck, ‘berterima kasih terhadap sahabat itu tidak keren’, tapi terima kasih tetaplah penting, dan, hari ini, mungkin juga untuk hari-hari setelahnya, aku merasakan betapa terima kasih itu memang diperlukan. Sangat, malah.
Ku harap, perpisahan ini akan diselimuti oleh kebahagiaan. Tanpa ada mata yang berkaca-kaca, tangis yang ditahan, dan hal-hal menyedihkan lainnya. Rasanya, kalaupun harus menangis, mungkin akan kulakukan di dalam hati saja deh hehehe.
Selepas ini, aku dan beberapa badut yang tetap tinggal akan kembali meramaikan pasar malam yang kau tinggalkan, kami tetap harus berpesta di sini kan? ada atau pun tiada dirimu. Sedangkan bagimu, pun akan memulai langkah baru, di pasar malam yang lain, bersama badut-badut lain, memasuki ruang mimpi yang lain, menyaksikan bianglala lain berputar, malam demi malam. Begitulah barangkali hehe.
Walau akan menjadi paradoks, tapi, ku harap dirimu akan menjadi badut yang tidak terlalu sibuk ‘ngurusin’ orang lain, hingga lupa akan tugasmu sendiri. Kamu musti sadar bahwa dirimu juga memiliki pasar malammu sendiri. Semoga, selepas kepergianmu, kamu bisa menghibur, tidak hanya pengunjung yang datang, tapi juga Tuan dan dirimu sendiri.
**
Pesanku; melengkapi diskusi kita malam itu. Bumi ini adalah sajadah, tempat para hamba, termasuk badut-badut seperti kita untuk bersujud. Mau di Surabaya, ataupun di Salaya, semua sama saja. Semoga kamu tetap diberikan rezeki berupa kehidupan yang benar, yang jauh dari kefasikan dan kemungkaran, yang kesemuanya itu dapat diilhami dari setiap gerakan sholat, yang mana sebenarnya perintah sholat itu sendiri timbul dari ‘bahasa nurani’, yang kemudian dimanifestasikan menjadi beberapa simbol dan gerakan-gerakan lahiriah. Sehingga, didapatkan sebuah kerangka konsep; dari batin menuju lahir.
Berdiri; maknanya adalah, kita musti teguh dan tegak terhadap setiap pendirian, kokoh dan kuat terhadap sebuah keyakinan, adil, tidak miring sebelah, dan jujur apa adanya. Hendaknya, seperti itulah kita hidup. Ketika kelak kita berpindah pasar malam, jangan hanya karena itu musuh atau bukan dari golongan kita, lalu kita bersikap tidak adil, jangan hanya karena orang itu kita benci lalu kita bersikap tidak jujur.
Rukuk;maknanya tawadhu’ rendah hati dan tidak bersikap sombong, congkak apalagimerasa lebih dari orang lain.
Sujud; artinya tunduk dan patuh, yaitu tunduk dan patuh terhadap segala syariatNya dan ridho terhadap segala qodo’ dan qadarNya.
Duduk; bermaknasabar, bahwa dalam kehidupanini akan selalu terdapat banyak ujian dan rintangan.Sebagai seorang badut yang baik, ku harap dirimu mampu untuk menekuni kesabaran, qona’ah, dan menerima setiap ketetapanNyadengan ikhlas, sama seperti menyikapi ke-18 percobaanmu sebelum ini, hehehe.
Salam, tengok kanan kiri; bermakna bahwa kita harus peka terhadap lingkungan sekitar kita. Ketika di antara para badut lain itu mungkin ada yang membutuhkan uluran tanganmu, ketika dirimu mampu, maka bantulah mereka. Inget! jadilah lebih peka! Hehehe.
Hakikat sholat ini menjadi penting supaya dirimu tidak sampai pada tataran ‘fawaillul lil mushollin’, celaka karena sekedar memahami syariatnya saja, namun tak mengenal hakikat dari sholat itu sendiri, yang notabene merupakan lakunya hidup ini sendiri, maka dari itu, hakikat sholat yang sesungguhnya adalah bukan sekedar dibatasi antara takbiratul ihram dan salam kita saja, tapi juga bagaimana kita hidup setelah salam itu, keseimbangan vertikal-horizontal itulah yang membuat sholat kita dapat mencegah dari keadaan fasik dan munkar.
Kita juga musti mengingat bahwa salah satu tujuan mulia dari sholat adalah merendah, merunduk, tidak sekalipun merasa lebih tinggi dari yang lain, ketika diri ini masih menyimpan rasa demdam, iri, hasad, ujub, riya’, atau bahkan sampai memfitnah dan lain semacamnya, maka kiranya ada yang salah dengan sholat kita, mungkin sholat kita baru sampai pada tahap tutorial saja. Jadilah pionir perdamaian, damainya hati di antara inner circle mu, toh, di sana dirimu juga akan jadi bagian dari kaum minoritas. Keseimbangan dan perdamaian dapat terwujud ketika yang mayoritas mengayomi yang minoritas, dan sebaliknya, yang minoritas pun menghormati yang mayoritas. Jadilah cerminan islam yang sebenarnya, yang mampu menjadi rahmat bagi semua J
**
Ahad, 21 Juli 2019 pukul 09.40 WIB.
“Mas, aku kayaknya mau pulang, aku gabisa datang ke (nikahannya) mas robi, Ibuk (Nenekku) meninggal mas”
Sungguh sebuah pesan pendek yang seketika bak guntur di siang bolong. Pukul 09.17 WIB kita masih cekikikan, sejatinya kita akan bertemu sekian menit lagi untuk bersama-sama menghadiri walimatul ‘ursy seorang teman dan dilanjutkan mengantarmu pulang sekaligus bersilaturahmi ke rumahmu di Mojokerto. Tak dinyana, kabar duka itu datang tiba-tiba dan mengubah semuanya. Rencana siang itu berbalik 360o.
Aku mafhum, pada momen-momen sebelum ini, dirimu kerap kali menceritakan bagaimana masa-masa indah bersama nenek. Nenek yang kau panggil ‘Ibuk’ itu adalah salah satu sosok yang paling berperan dalam pembentukan karakter dan kepribadianmu hingga saat ini. Sosok yang sebenarnya akan kau temui esok hari sebelum hijrahmu ke negeri seberang, kini harus kau temui lebih cepat. Sosok yang menjadikanmu senantiasa spesial sebagai salah seorang cucu yang paling Beliau sayangi, kini telah pergi meninggalkan sejuta ‘pitutur’ untuk selalu diteladani.
Sontak aku teringat ungkapanmu beberapa momen silam, bahwa hidup hadir sepaket antara keceriaan dan kesedihan. Yap! Bisa jadi, keduanya hadir sebagai sebuah rangkaian dari qada’ dan qadar-nya yang harus senantiasa kita jalani dan renungi, kita olah dan kita kaji.
Ingatlah Mbak, keterpurukan adalah sebuah keniscayaan bagi setiap kita yang fana. Yang jadi pembeda hanyalah bagaimana kita merenungi hikmah di balik setiap kejadian dan ujian yang kita hadapi, karena sejatinya di situlah puncak keikhlasan.
Aku tau, aku pun paham bahwa ini tak akan pernah mudah, ujian ini datang di saat yang sulit, saat dimana kau hendak pergi. Namun yang harus terus kau pahami dan sadari, bahwa air hujan yang jernih kerap kali datang dari awan gelap yang menggelayuti. Dirimu, juga kami, tak elok jika terus meratapi. Tempatkanlah diri sebagai seorang saksi, bahwa yang telah diajarkan oleh Nenek adalah bakti terbaiknya kepada Ilahi. Sejauh apapun gelombang menjauh pergi, pada pantai jualah ia kembali, pada pesisir itulah dia kan menepi.
Ila ruhi Hj. Sri Purwati, lahal fatihah~