Valentine sebagai Vaksin
Satu hari yang lalu tepatnya tanggal 14 Februari merupakan perayaan untuk hari kasih sayang, atau yang kerap disebut sebagai Valentine’s Day. Terlepas dari pro dan kontra di setiap perayaannya, hadirnya hari valentine tahun ini seakan membawa angin segar dan atmosfer kasih sayang di tengah hiruk pikuk pandemi COVID-19.
Tahun ini, perayaan hari valentine berdekatan dengan tahun baru imlek. Hal ini kian menjadi gema damai sekaligus sarana bagi pemupukan toleransi antar anak bangsa. Konteks kasih sayang di sini tidak hanya dibatasi oleh sekat muda-mudi yang sedang dirundung cinta, melainkan memiliki makna yang jauh lebih luas.
Di antaranya adalah kasih sayang sesama umat manusia, suami dengan istri, orang tua dengan anak-anaknya, kakak dengan adiknya, dan yang lebih penting lagi ialah kasih sayang sesama anak bangsa.
Sejatinya, esensi hari valentine telah mewarnai setiap sisi kehidupan secara global, di mana pun dan kapan pun, jauh sebelum hari valentine itu sendiri dirayakan. Nilai-nilai kasih sayang yang dibawa oleh hadirnya hari valentine kian menjadi bagian dari dinamika kehidupan umat manusia yang sejak dulu hingga kini terus berdenyut sesuai detak jantung zaman.
Sesuatu yang imajiner
Hari valentine bagi sebagian orang yang merayakannya mungkin dapat sangat berarti. Tapi, bagi sebagian yang lain, yang sedang mengalami proses survive akibat pandemi 1 tahun belakangan ini, boleh jadi kasih sayang hanya bersifat imajiner, utopis, dan penuh ilusi. Pasalnya, belum ada yang dirasa mampu untuk benar-benar menebar darma yang dikemas dalam bingkai cinta dan kasih sayang sebagai sarana membebaskan masyarakat dari belenggu pandemi.
Kita masih dibayang-bayangi oleh derita dan nestapa akibat makin buruknya perekonomian yang ditetaskan oleh arus deras ketidakpedulian sekelompok oknum. Karenanya, proses pemiskinan yang bermuara pada penurunan kualitas hidup kian menjadi sebuah keniscayaan.
Untuk menghadapi berbagai gempuran dan ancaman pandemi yang kian tak pasti, masyarakat dituntut untuk bergulat dengan kelompok masyarakat yang lain. Pasalnya, di kalangan akar rumput sendiri, masih terdapat banyak faksi antara mereka yang percaya, tidak percaya, dan bahkan tak lagi mau peduli. Hal ini kian menjadi bukti bahwa sebenarnya terdapat rentang atau kesenjangan pendidikan, serta krisis literasi yang serius di tengah masyarakat Indonesia.
Sejak kasus pertama COVID-19 masuk ke Indonesia pada medio maret 2020 yang lalu, penanganan yang diarsiteki oleh berbagai model protokol kesehatan, nyatanya belum memiliki fondasi yang cukup kuat guna mengatasi pandemi yang kini justru telah menginjak angka satu jutaan kasus. Sebaliknya, hegemoni bernuansa politik tak pernah surut mengintervensi setiap laku pembangunan yang kian mengalirkan energi keresahan dan bahkan ketakutan.
Vaksin sebagai sebuah premis
Angin segar yang ditiupkan oleh pemerintah melalui program vaksinasi, menjadi sebuah babak baru untuk memperbaiki masa depan Indonesia paska pandemi yang kini sebentar lagi merayakan milad pertamanya. Namun, dalam perjalanannya hampir 2 bulan, program vaksinasi masih berotasi dalam orbit euforianya. Kenyataannya, vaksinasi berjalan cukup lambat dan tidak sesuai dengan target yang dicanangkan. Jika tren ini terus stagnan dan tidak ada strategi konstruktif yang diupayakan, maka perlu waktu 10 tahun lebih bagi bangsa Indonesia untuk mencapai kekebalan kelompok (herd immunity).
Pada mulanya, kita berharap bahwa melalui program vaksinasi ini kesejahteraan masyarakat bisa terkatrol sebagai konsekuensi lahirnya herd immunity, namun melihat kecepatan vaksinasi yang begitu lambat, nampaknya kita masih harus banyak bersabar. Yang musti menjadi perhatian seluruh pihak, khususnya pemerintah, masyarakat sudah cukup lama menderita karena efek domino dari pandemi yang kian mengarah pada perburukan ekonomi bangsa. Tidak sulit mengamati penderitaan masyarakat yang tiba-tiba terguncang PHK karena tidak memiliki sumber pendapatan tetap, di samping kebutuhan hidup yang tak bisa ditunda.
Penderitaan masyarakat ibarat penumpang kapal yang akan tenggelam, mereka hanya bisa berteriak, menangis, dan berharap datangnya sekoci penolong di tengah gelombang penderitaan yang silih berganti. Namun, di satu sisi, mereka juga memperburuk keadaan mereka sendiri dengan tidak mengindahkan protokol kesehatan yang diinisiasi pemerintah. Inilah dilema yang sedang kita hadapi bersama.
Ketidaksiapan mental dan moral dalam menerima informasi dan dinamika literasi kian menjadi bola salju yang memunculkan perilaku bias dari berbagai lini di akar rumput. Persinggungan di tingkat bawah juga kerap berlangsung karena memiliki persepsi yang berbeda tentang pandemi. Tiap orang merasa paling benar dan tak mau mendengar saran, apalagi kritik dari orang lain.
Memang, sebagian masyarakat masih mampu mengukir tawa. Namun, yang perlu kita ingat, bahwa tawa merupakan bentuk apresiasi subjektif atas suatu peristiwa, sehingga tak menutup kemungkinan bahwa ada sekelompok orang yang tetap mampu menertawakan dirinya sendiri walaupun sedang mengalami penderitaan.
Perayaan hari valentine di tengah kondisi bangsa yang sedang tidak baik-baik saja kian menjadi penggugah kita, untuk bersama-sama, melalui kerja kolektif, mengubah perilaku dari sikap saling menyalahkan, menjadi sebuah entitas yang menebar kasih sayang untuk berempati terhadap sesama.
Melalui momentum perayaan hari valentine ini, sejatinya penebaran kasih sayang tidak harus berhenti sebatas petuah teologi yang secara kognitif bisa dipahami. Namun, harus terus mengalir ke dalam ruang praktik kehidupan sehingga dapat dialami dan dirasakan oleh setiap orang sebagai sebuah dinamika sosial sekaligus vaksin alami dari Tuhan.