Pasar Malam, Badut dan Pawitra

Pasar malam ini tak pernah sepi sedetik pun. Negara ini kacau hingga warganya butuh dihibur secara inkremental. Ya, contohnya lewat hiburan sederhana yang dibikin tidak cuma-cuma seperti ini. Ada begitu banyak permainan, begitu banyak kebahagiaan dan begitu banyak permen coklat dibagikan. Asal mereka mau datang saja dan membayar sepantasnya.

Aku selalu bermimpi menjadi badut. Kata semua orang, menjadi badut adalah hal yang konyol tapi membahagiakan. Bapakku bukan badut, apalagi ibuku. Tapi aku tetap ingin menjadi badut. Kataku, badut mampu menolong orang lain yang sedang bersedih. Aku akan selalu tertawa dan membuat mereka tertawa. Ketika seluruh dunia tertawa, maka tidak ada lagi kesusahan. Karena itu, aku selalu bermimpi menjadi badut. Dengan memakai riasan badut, aku bisa menyembunyikan ekspresiku─yang kata mereka terlalu ekspresif ini.

“Oi Jo, rapikan kursi penonton sebelah sini!” Pak Bendi, juragan pemilik sirkus di tempatku bekerja, mulai berteriak pagi-pagi. Ia berkicau soal bangku penonton yang berantakan dan jaring atraksi yang kotor gara-gara sarang laba-laba. “Cepet! Biar uang makan siangmu nggak kepotong.” Mas Salim melewatiku sembari mengusap-usap tongkat sulapnya. Mas Salim pesulap unggulan di sirkus Pak Bendi, ia bersahabat baik denganku. Meski sekarang statusku di sirkus ini tak lebih dari tukang bersih-bersih, tapi aku yakin suatu hari nanti aku bisa punya panggung seperti Mas Salim.

ATRAKSI SIRKUS. DIMERIAHKAN BADUT, SULAP, ATRAKSI DAN HEWAN BUAS!

Sirkus Pak Bendi

Ratusan pamflet itu sudah tersebar ke ribuan kota. Mungkin juga sudah terdengar di telinga Bapak dan Ibu. Jelas aku tidak menemukan namaku di situ. Kalau Mas Salim, sudah tentu ada. Ia bintangnya. Kharisma dan ketenangannya nyaris sempurna. Kadang ia banyak dikirimi wanita-wanita paruh baya karangan bunga dan hadiah. Karangan bunganya pun cantik, seperti pengantin. Ada krisan, akasia, mawar, lili bahkan edelweiss.

Dibandingkan denganku, jelas tidak sebanding. Aku hanya bocah biasa yang berteman dengan sapu butut dan lap— juga berjibaku dengan tiap sudut berdebu area sirkus.

Baru saja aku tenggelam dengan khayalanku, tiba-tiba aku mendengar suara mesin motor dari belakang. Dari pintu yang tersikap aku melihat Mas Salim berbincang dengan Fajar. Fajar si pemain tong setan.

“Berangkat saja Bang, nggak lama Cuma dua hari. Ajak saja si Bejo sekalian.”

Mendengar namaku disebut-sebut oleh si Fajar aku keluar dari tenda sirkus.

“Lagi ngobrol apa nih, ikutan dong.” Aku nyengir.

“Ayo kita ke gunung Jo. Sekali-kali kamu naik gunung. Biar kamu jadi laki-laki macho. Gak nangisan.” Kata Fajar. Kata-katanya nancep mirip tusukan pentol yang dijual Pakde depan pasar malam.

“Ikut yuk Jo.” Kata Mas Salim penuh semangat.

Mas Salim melihatku dengan mata penuh harap. Dari raut wajahnya terbaca, bahwa ia sedang butuh hiburan. Maklum manusia super sibuk yang punya jadwal tampil tinggi seperti Mas Salim juga perlu hiburan.

“Dah fix. Kalian berdua ikut.” Kata Fajar, diikuti tawanya yang lebar.

“Ajak Nur juga dong. Masa cowok semua.” Mas Salim nyeletuk. Boleh juga pikirku.

Nur adalah salah satu staf penunggu tiket bianglala. Hobinya mengumpulkan gincu warna-warni Purbosari. Dari nomer delapan puluh hingga sembilan puluh lima, tidak pernah alpa. Tak heran, Nur adalah gadis tercantik di sini. Semua orang mengaguminya. Bahkan selain cantik ia juga jago memasak. Ia selalu datang membawa masakan dan jajanan untuk orang-orang di tenda sirkus. Tak terkecuali aku. Benar, aku adalah fans masakannya nomer satu.

Meskipun cantik, Nur bukanlah gadis yang sombong. Ia sering kami ajak nongkrong. Nur juga tidak sombong. Kadang-kadang ketika Fajar dan Mas Salim lagi meniup rokok─ yang selalu mereka anggap lollipop dari cengkeh itu─ Nur tetap saja asik ngobrol cuek tidak peduli. Mungkin aku yang kadang mengalihkan Nur ke tempat lain karena aku tahu Nur punya asma. Biar kita tidak kena asapnya. Ngomong-ngomong, Nur juga disukai oleh Kak Payas, seorang pawang singa. Sayang, hati kak Payas belum cukup kuat menaklukkan luasnya perasaan Nur.

Berbicara soal Kak Payas, dan Singa nya “Rimba” merupakan hal yang menarik bagiku. Kak Payas membantuku masuk sirkus ini. Sebenarnya aku punya rahasia. Aku juga wanita seperti Nur. Betul, aku wanita tulen. Nama samaranku Bejo. Kak Payas lah yang membantuku berpenampilan seperti anal laki-laki butut agar aku bisa bergabung ke gerombolan sirkus Pak Bendi. Pegawai sirkus tidak boleh seorang perempuan itu syaratnya. Hingga kini, identitasku kurahasiakan. Hanya Kak Payas dan aku yang tahu. Mas Salim dan Fajar, kedua kawan karibku itu, tidak tahu apa-apa. Apalagi Nur.

Dalam hati aku bersyukur.

“Untungnya Nur ikut, aku tidak akan menjadi perempuan satu-satunya di rombongan.”

Fajar dan Mas Salim, sering cemburu aku dekat dengan Nur. Mungkin karena aku menyukai bianglala. Aku betah mengobrol dengan Nur sambil melihat roda bianglala berputar. Tapi mereka bilang, aku sedang usaha dekat dengan Nur.

“Jo, kalau Nur ikut jangan kamu godain saja. Masih kecil kamu ini. Belum tahu apa-apa soal dunia. Nggak usah pacaran dulu. Lagian usia Nur lebih tua dari kamu.”

Kadang aku sebal dengan Fajar. Kita seumuran, tapi dia selalu menganggap aku masih kecil. Fajar memang flamboyan, gayanya cuek sok puitis mentang-mentang dia punya motor ninja. Tiap hari kerjanya menggoda Nur dan Mbak Wendy si penjual permen di sebelah tenda sirkus. Kalau keluar kalimat mautnya, dengan kepercayaan diri yang tinggi ia akan berkata:

“Oh wajahmu bagai purnama, memberi cahaya bagi sudut kehidupan.”

Agak sinting.

Begitu terus, berulang-ulang.

“Oi ngelamun aja kamu Jo. Udah cepat siapkan perlengkapan mendaki. Jangan lupa baju tebal, jaket hangat sama air minum sih soalnya disana nggak ada mata air. Jangan merepotkan Nur ya, kita aja yang bawa carrier.” Kata Mas Salim

“Siap Mas!” dalam hati aku berpikir. Gawat nih, kalau aku tidak kuat. Bisa bisa aku ketahuan kalau aku seorang wanita.

Esoknya, kami berempat berangkat menggunakan truk Abah Fizi. Menumpang istilahnya. Aku sudah atur strategi yang pas agar identitasku tetap terjaga. Aku komat-kamit berdoa, semoga saja semua baik-baik saja. Aku masih harus belajar di pasar malam ini dalam waktu yang lama agar bisa debut menjadi badut,

“Kamu sakit Jo, kok mukamu pucat?” Nur menggugah lamunanku akan perjalanan kami.

“Nggak Nur. Aku baik-baik aja.” Jawabku singkat. Mas Salim dan Fajar menatapku keheranan. Mungkin mereka bertanya-tanya, bagaimana seorang cleaning service yang tak takut singa, bisa pias ketika akan berhadapan dengan gunung.

Gunung Penanggungan, nama puncaknya adalah Pawitra, berasal dari bahasa sansekerta yang memiliki arti tempat “mensucikan diri” ─mirip rubrik soal motivasi dan spiritual yang kubaca di koran lokal harian. Medan di gunung ini lumayan terjal, tidak ada mata air. Karena itu, kami sejak awal berkomitmen untuk terus menjaga Nur, primadona dari pasar malam dan “satu-satunya” wanita sejati di rombongan kami.

“Puncak masih berapa kilo lagi, Jar?” Mas Salim menoleh ke arah Fajar di belakang. Carrier nya yang paling besar sedikit oleng ke kanan.

“Masih lama Mas, di peta sih 10 kilometer lagi, belum nanjaknya.” Fajar menimpali.

Aku masih menahan rasa ngilu di kakiku. Tamat riwayatku, jangan sampai aku tumbang seawal ini. Nur masih berdiri di depanku. Dia tampak khusuk menghayati setapak jalan di depannya. Hingga akhirnya tak beberapa lama kakinya ini mulai berontak.

“Aduh Mas Salim. Berhenti sebentar kayaknya kakiku kram Mas!” aku setengah berteriak.

“Halah kamu Jo, baru segini aja. Jangan bilang kamu nggak kuat sampai puncak.” Alis Fajar naik sebelah, senyumnya juga ditarik sebelah. Ke arah kiri. Menyebalkan seperti biasa.

“Dah sini aku bantu Jo. Mana yang sakit, coba lepas sebentar tali sepatumu.” Ujar Mas Salim sabar. Tipikal Mas Salim. Dia juga membantu melepas sepatu dan kaos kakiku.

“Aku bantu kasih koyo Mas. Aku juga ada salep.” Tambah Nur.

Tak lama kami kembali berjalan. Kali ini kami hampir sampai ke puncak. Baru aku tahu di titik ini, Fajar tidak lagi mengkultuskan ke-flamboyan-an miliknya. Ketika Nur dibantu oleh Mas Salim, Fajar yang sedari tadi melihat wajah pucatku sontak menyusul ke belakang dan berkata.

“Ayo Jo sedikit lagi sampai puncak. Ayo merangkak lagi. Laki-laki kok cengeng!” dia berteriak di sampingku. Lama-lama aku termotivasi juga.

Ucapan itu diucapkan 40 kali oleh Fajar dan kami berempat pun sampai ke puncak. Aku tersenyum sekaligus sedih melihat puncak. Mas Salim mengambil gambar dengan sudut-sudut berbeda dan Nur berpose lucu nan jenaka. Senja di puncak, kemudian irama adzan maghrib menggema. Lepas, luas dan mega.


Puncak Pawitra, tepat tengah malam.

Kami telah mendirikan tenda. Kata Mas Salim tendanya cukup untuk dua orang. Sambil nyeletuk mereka berebutan satu tenda dengan Nur di tenda yang paling besar. Cukup terjaga sih karena bakal dibatasi oleh logistik dan carrier. Mereka tertawa dan aku diam saja. Tentu saja aku lebih berharap satu tenda dengan Nur. Aku kan wanita!

“Mas Salim, Fajar.. aku saja yang satu tenda dengan Nur.” Kataku santai.

“Enak dong kamu.” Fajar berkata sambil cemberut, lagi-lagi.

“Wah kamu Jo. Modus.” Mas Salim diam-diam juga keberatan.

Setelah membiarkan mereka lama berdebat, aku nyeletuk.

“Aku itu cewek Mas.” Entah dihasut oleh bisikan apa, aku mengungkapkan identitasku malam itu. Mungkin karena capek atau mungkin gunung membuatku percaya kepada mereka.

Aku kesal merahasiakan ini. Memangnya kenapa kalau aku perempuan. Fajar selalu mengejekku saat aku menangis, katanya aku cowok cengeng. Pak Bendi apalagi, selalu menyuruhku ini itu. Aku inginnya jadi badut, kenapa sih badut harus laki-laki. Aku juga kesal karena Mas Salim dan Fajar tidak sadar aku wanita, memangnya aku se-macho itu. Semua perasaan itu menumpuk, hingga membuatku mengaku. Lalu menangis. Lagi.

Bruuuuush. Kopi kental manis buatan Fajar menyembur tepat di mukaku. Kalau aku tak sedang sedih aku damprat dia.

 “Gila! Kita bawa dua orang perempuan ke gunung dan kita nggak sadar Mas! Asem kamu Jo. Kamu wanita! Kon wedok tibak e.” kata-katanya mulai kasar.

Mas Salim hanya bisa hirup dalam-dalam rokoknya. Ia tetap santai tidak seperti Fajar.

“Aku sudah ada perasaan sejak awal kalau kamu cewek sih.” Nur menjawab keheningan setelah ungkapan kekesalan Fajar. Dia tampak tenang.

“Ya, Nur. Sejak kapan kamu tahu?” Aku malu. Bertanya pun sambil menunduk.

“Sejak kamu memandang bianglala dengan takjub dan mendengarkan ceritaku soal lipstik purbosariku nomer delapan puluh enam yang patah. Kamu bilang kamu juga suka warna delapan puluh enam. Merah pekat kehitaman.”

Nur benar. Firasatnya selalu benar seperti biasa. Mas Salim kalem, sambil meneguk kopi kental di depannya. Menyisakan fajar yang meringis─minum kopi─meringis─rokokan. Nur kalem menepuk pundakku. Mereka punya reaksi masing-masing.

“Kenapa kamu berbohong, Jo? Selain kami ada yang tahu?” Mas Salim pindah duduk di sebelahku. Pandangannya mafhum, seperti mengerti sebelum aku mampu menjelaskan. Dia menatapku dengan lekat.

“Kak Payas, Mas. Aku ingin bekerja di sirkus Pak Bendi, aku ingin jadi Badut. Tampil di panggung yang besar itu. Setidaknya sekali.”

Semua diam, melihatku yang mulai menangis. Bagaimanapun Bejo adalah perempuan dan ia selalu menangis. Aku menangis hingga tengah malam.


Setelah malam yang panjang itu, aku resmi tidur bersama Nur.

“Nur, apakah semua akan baik-baik saja?” aku bertanya sebelum aku menaikkan risleting sleeping bag.

“Kejujuranmu akan berbuah baik.” Jawabnya singkat seperti seorang Ibu, seperti Mbak Wendy yang biasa memberiku sekotak permen ketika aku sedang istirahat malam. Mendadak aku rindu dengan pasar malam itu. Aku juga rindu omelan Pak Bendi. Sesimpel itu.


Pagi itu aku terbangun pukul empat. Aku selesai subuhan dan duduk di depan tenda. Fajar sudah duduk daritadi disitu. Kata Fajar disini ada banyak bintang, aku mendongak.

“Kenapa kamu ingin jadi Badut?” Fajar memecah suasana senyap. Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang kutunggu selama 24 tahun. Selama itulah tidak pernah satu pun orang bertanya kepadaku. Tidak Kak Payas, Pak Bendi atau Bapak Ibuku. Pertanyaan itu keluar dari seorang Fajar. Fajar yang momentum rayuannya selalu aku hapal dan sifatnya yang aku benci hampir setengah mati, meski ia temanku. Kali ini pertanyaannya bisa begitu menghangatkan.

“Karena aku ingin membuat orang lain tertawa, Jar. Secara langsung membantu mereka memperoleh kebahagiaan, itu menakjubkan.”

“Tapi aku takut badut. Badut itu menyeramkan.” Mata Fajar memandang jauh ke arah langit sambil menjawab argumenku.

“Karena kamu takut orang yang berpura-pura, seseorang yang marah tapi ia pura-pura bahagia?” tanyaku

Kami berdua diam, Fajar tidak menjawab. Fajar benar, beberapa orang takut badut. Akan tetapi badut itu manusia biasa, ia merelakan ekspresinya ditutup karena ingin orang lain tersenyum. Apakah itu adil bila dianggap menyeramkan?

Kami duduk hingga matahari mulai terbit.

“Jo ayo kamu bantu Nur memasak. Kamu cewek kan.” Mas Salim tiba-tiba datang dari belakang dan bersikap seperti biasanya kepadaku. Aku tersenyum dan bergegas membantu Nur yang sedang menyalakan api.

Perjalanan turun kini terasa berat. Karena semua hal yang belum terselesaikan di puncak atau karena beban perasaanku sendiri. Entahlah aku tidak tahu. Fajar dan Nur sudah jauh ke depan. Mas Salim mempercepat langkahnya, menyamai langkahku.

“Harus ya kamu begini, hanya supaya bisa jadi badut?” Tanya Mas Salim.

Aku menjelaskan panjang lebar kepada Mas Salim. Aku yang sekarang hanya berharap aku tidak dipecat saja. Jujur, aku terlanjur nyaman dengan kondisi pasar malam. Dengan Mas Salim dan kawan-kawan. Aku banyak bercerita perihal kekhawatiranku.

“Bentuklah mimpi yang baru kalau-kalau takdirmu bukan menjadi seorang badut. Terus tunjukkan dirimu sendiri apa adanya. Lakukan apa yang kamu suka. Bukan jadi apa, tapi untuk apa.” Mas Salim, berbicara panjang lebar mendahuluiku dan berhenti di tempat Fajar dan Nur beristirahat, beberapa meter di depanku.

Untuk pertama kalinya aku bersyukur sekali akan perjalanan ini. Mereka bertiga banyak menyadarkanku. Hingga akhirnya, kami hampir sampai di pos terakhir sebelum air kami habis. Fajar dan Nur─ yang telah turun duluan─duduk menungguku dan Mas Salim.

“Bejo, kamu tidak harus jadi badut kok agar bisa membahagiakan orang lain.” Mas Salim berbicara dengan cepat dan singkat sambil membenahi topinya. Aku mendengarkan kalimatnya lamat-lamat. Aku cerna dengan baik dan kurangkum beserta kalimat asing dari Fajar dan kalimat Nur yang menenangkan tadi malam.

Aku bersyukur lagi, walau saat itu aku hampir dehidrasi.


Kami berempat sudah sampai di pos paling akhir. Segelas es limun menyegarkan aku teguk cepat-cepat. Rasanya tidak ada nikmat Tuhan yang bisa didustakan. Nur kemudian datang menghampiriku sambil membawa satu mangkuk gorengan.

“Kamu tahu, apapun yang terjadi kita nggak akan bilang ke siapapun di pasar malam tentang kamu. Juga Kak Payas, tidak akan pernah tahu kalau kita bertiga tahu. Langkah selanjutnya kamu yang menentukan. Selamanya kamu akan bisa bekerja di pasar malam. Jadi apa saja tidak harus di sirkus Pak Bendi. Aku bisa bantu bilang ke Paman.” Nur berkata sambil tersenyum cantik. Cantik sekali seperti seorang peri dari hutan.

Nur jelas berani berkata seperti itu, pamannya adalah pemilik resmi 80% saham pasar malam. Dari kata-katanya Nur seperti ingin memberikan jaminan kepadaku. Gadis cantik, baik nan sabar ini benar-benar mampu memberikan ketenangan, tidak heran para pria di pasar malam berebut karenanya. Sungguh aku mengerti mengapa.

Tin.. Tin … terdengar klakson Pak Fizi. Kami bergegas naik ke belakang truk. Kulempar senyum dan lambaian terakhir pada pawitra sebelum ia menghilang tertutup awan. Di jalan pulang, aku duduk melipat kaki di truk milik Pak Fizi. Kami berempat duduk berdempet karena truk ini sedang ada muatan untuk Pasar Malam. Sepanjang perjalanan kami tak banyak bicara. Hanya ada batuk kecil, bersin atau siulan dari Fajar. Pikiranku melayang kemana-mana. Kini aku tahu apa yang harus aku lakukan. Aku tidak akan bersembunyi lagi. Aku banyak mendapat hal baru, mendapat sahabat baru, saudara baru dan mimpi yang baru. Mas Salim kembali menyulut rokoknya dan celakanya rokok itu terbang tertiup angin. Sungguh kasihan. Kami pun tertawa. Kini, kami bersama-sama kami menuju pasar malam. Bersiap dengan hiruk pikuknya panggung hiburan.

Adanti Wido Paramadini

Rain, books and our warm conversation is enough~

Tinggalkan Balasan