Ilmu Falak dalam Tataran Internasionalisme sebagai Usaha Peningkatan Ekskalasi Edukasi

Di era sosial media yang serba terbuka, kita semua disajikan dengan beragam fakta yang begitu cepat tersiar lewat dunia maya. Mirisnya, walau pengguna internet di Indonesia sudah menembus angka 132 juta, namun hal itu tidak diimbangi dengan tingkat literasi yang memadai. Sebagai negara yang mayoritas muslim, kebanyakan masyarakat Indonesia tentunya juga telah mafhum dengan istilah iqra’, sebuah istilah singkat dengan makna yang begitu panjang tentang urgensi membaca, sekaligus sebagai wahyu pertama yang difirmankan kepada Nabi Muhammad SAW, seorang Nabi yang ummi. Perintah Allah SWT yang kemudian kita pahami sebagai bagian dari surat Al-Alaq ini, sejatinya, secara filosofis telah mengingatkan kita, para hambanya, bahwa membaca dan menulis adalah pondasi yang esensial dalam usaha memajukan sebuah peradaban.

Terlepas dari waktu diturunkannya firman tersebut, sesungguhnya, umat manusia saat itu telah berada pada taraf kesusastraan yang cukup maju, dibuktikan dengan banyaknya tulisan dari para filsuf yang mendominasi rak-rak perpustakaan di seluruh dunia. Berbagai literatur dari para pemikir Cina hingga Yunani, dengan pendekatan dan keunikannya masing-masing, masih dapat kita pelajari dengan bebas hingga hari ini, walaupun karya-karya tersebut sebenarnya telah ditulis ribuan tahun lalu. Bahkan, di berbagai museum di Mesir, kita pun masih dapat menjumpai karya tulis monumental yang ditulis menggunakan huruf hieroglif.

Namun, yang mesti dipahami, fakta tersebut di atas adalah potret kecil dari sebuah peradaban yang menyimpan ketimpangan pendidikan. Kemampuan literasi orang-orang zaman dulu hanya didominasi oleh kalangan aristokrat, rohaniawan, filsuf, dan sebagian kecil dari para bangsawan. Kaum proletar yang didominasi oleh rakyat jelata, hampir dipastikan semuanya mengalami buta huruf. Barangkali, itulah yang melatarbelakangi Allah SWT memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk mulai menaruh perhatian khusus pada proses baca-tulis.

Budaya Literasi

Tak bisa dipungkiri, bahwa literasi merupakan salah satu pangkal dari berbagai pengetahuan yang lain. Maka dari itu, setelah pengetahuan terkait baca-tulis dipahami, Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk terus mengembangkan pengetahuan seluas-luasnya. Bahkan, Beliau pun bersabda agar kita belajar hingga ke negeri Cina. Proses penguatan akar rumput ini membuahkan hasil yang luar biasa. Tingkat pengetahuan umat Islam sejak masa kenabian hingga berabad-abad setelahnya, berkembang amat pesat. Saat umat Islam sedang tekun belajar, peradaban di Eropa justru masih sibuk dengan peperangan. Maka, tak heran jika saat ini kita mengenal angka ‘0’ (nol) dan nilai minus, yang sebenarnya, asal-muasalnya adalah dari huruf dan ilmuwan Arab. Sebelumnya, bahkan untuk bangsa sebesar romawi, mereka tak memiliki angka nol. Tak ayal, ini merupakan salah satu penemuan paling besar dalam peradaban manusia. Belum lagi jika kita menyinggung ilmu falak, ilmu jiwa, dan berbagai disiplin ilmu lainnya. Kala belum seorang pun terpikir untuk menghitung lamanya tahun matahari, seorang ilmuwan Islam dari Syria, Abū ʿAbd Allāh Muḥammad ibn Jābir ibn Sinān al-Raqqī al-Ḥarrānī aṣ-Ṣābiʾ al-Battānī atau yang lebih populer disebut Al-Battani, telah melakukannya dan membuat dunia begitu gempar dengan penemuan tersebut. Karya-karyanya bahkan juga menjadi rujukan bagi para astronom ternama di dunia, termasuk Copernicus. Karenanya, Al-Battani dikenal sebagai astronom terbesar dan paling terkenal di dunia Islam abad pertengahan.

Sayangnya, dominasi Islam di bidang ilmu pengetahuan, khususnya astronomi dan/atau ilmu falak, berangsur-angsur meredup. Sebabnya, di samping alasan politik (karena adanya perbedaan pendapat hingga melahirkan persaingan internal di kalangan para pemimpin Islam), yang paling kentara adalah mayoritas umat Islam telah ‘melepaskan diri’ dari tuntunan ber-iqra’, yang sejatinya merupakan salah satu perintah terpenting dari Allah SWT.

Iqra’

Perkembangan ilmu pengetahuan telah memungkinkan setiap orang untuk mendapatkan akses pendidikan, dan itu membuat sebagian besar orang, saat ini, telah mampu membaca dan menulis. Namun, permasalahan selanjutnya adalah; tidak semua orang serius mendalami apa yang ia baca, apalagi melaksanakan dan/atau mengembangkan apa yang telah ia pelajari. 

Barangkali, kita sedang berada pada tataran membaca saja, sesuai tekstual firman Allah: iqra’. Namun, dalam taraf kontekstual, kita nol besar. Ketika selesai membaca, kita berhenti. Tidak berbuat apa-apa.

Dunia terus berputar, dan kehidupan pun terus berjalan. Setelah meninggalkan era kejahiliahannya, orang-orang Barat justru berubah menjadi kaum yang sangat gemar membaca, menulis, bahkan bercipta karya, yang juga dilakukan oleh sebagian bangsa di Asia Timur seperti Jepang dan Korea. Kini, merekalah yang mendominasi kemajuan teknologi dan bahkan ilmu pengetahuan secara umum, termasuk astronomi. Mereka mungkin tak tau mengenai agungnya firman Allah SWT dalam surat Al-Alaq, namun dilihat dari bagaimana mereka mengamalkan konteks makna yang tersirat, bisa dibilang, mereka jauh lebih ‘beriman’ daripada kita.

Mengeksplorasi

Mau tidak mau, kita harus bangun dari tidur yang melenakan ini. Kita harus menyalakan kembali pelita yang sempat redup. Mengeksplorasi, bukan sekedar mengeksploitasi. Sentimen antiasing -yang kerap kali meracuni pola pikir kita-, perlu dimodifikasi menjadi sebuah kesadaran untuk dapat memahami ‘sesuatu yang berbeda’.

Tak ada satu pun peradaban maju yang hanya melirik ke arah dirinya sendiri. Tidak perlu kita jauh-jauh merujuk pada peradaban Yunani, Persia, ataupun Romawi. Sebagai sebuah bangsa, kita cukup berkaca pada Imperium Majapahit yang dengan gagah berani mampu menjelajahi Samudera Hindia hingga mencapai kepulauan Madagaskar di Afrika. Untuk mengarungi luasnya samudera demi sebuah tujuan memakmurkan imperiumnya, tentu para aristokrat Majapahit memiliki bekal intelektualitas yang tak sedikit, pun sederhana. Mereka tentu menguasai ilmu kemaritiman, astronomi, navigasi darat dan laut, serta strategi geopolitik yang mungkin merupakan salah satu yang paling canggih di zamannya.

Mistifikasi Ilmu Falak

Belakangan, ilmu pengetahuan kerap mengalami mistifikasi. Ilmu falak adalah salah satunya. Ilmu yang sejatinya diimport dari peradaban klasik Islam ini, kini kerap digunakan hanya untuk menyelesaikan persoalan terkait waktu sholat, puasa, dan penentuan hari raya. Kita lupa mengembangkan ilmu falak sebagai sebuah poros bagi geopolitik dan ilmu sekuler lain untuk mengelola dunia, atau setidak-tidaknya, negeri kita sendiri, Indonesia.

Salah satu rujukan penting mengenai poros lintas ilmu ialah kesadaran untuk memahami sejarah, bahasa, serta dinamika budaya dari negara-negara di luar Indonesia. Kita mesti ingat bahwa sebuah kebangkitan peradaban, kerap dimulai dari sebuah proses mengamati, meniru, kemudian memunculkan upaya kreatif-inovatif. Pun demikian dengan bangsa Eropa paska abad pertengahan, mereka pun tidak serta merta melakukan transfer ilmu dan kesenian dari bangsa Yunani, ia dimanifestasikan melalui sebuah gerakan translasi dan kreativitas peradaban Islam.

Sekali lagi, kita mesti memahami bahwa untuk melancarkan sebuah hegemoni komunal, diperlukan berbagai upaya sistematis untuk menggali unsur-unsur antropologis, sejarah, filologis, dan juga ragam ruang lingkup pengetahuan ‘di luar diri kita sendiri’.

Yang dibutuhkan guna pengembangan sains, khususnya astronomi dan/atau ilmu falak di Indonesia ialah, pertama-tama; menyadari dengan sesadar-sadarnya bahwa kita membutuhkan paradigma yang lebih luas tentang dunia. Ilmu falak harus dikembangkan dari yang semula terkesan kearab-araban, menjadi tidak melulu soal arab, walau tentu tak mungkin dipisahkan pula dengannya. Penting untuk disadari bahwa ilmu falak juga bukan hanya soal Islam. Pengajaran ilmu falak harus diperluas melalui pengembangan linguistik, sehingga diharapkan dapat melahirkan, tak hanya intelektual yang berkualitas, namun juga dapat sekaligus menjadi diplomat yang handal di bidang sains.

Ilmu Falak dalam Tataran Internasionalisme

Gagasan nasionalisme ilmu falak dalam tataran internasionalisme ini mesti disadari sebagai sebuah rangkaian usaha demi peningkatan ekskalasi edukasi. Dimensi pengembangan pendidikan ilmu falak ini, bagi sebagian pihak, bisa saja beraroma politik, namun bagaimanapun, ini merupakan bagian kecil dari penguasaan strategi kultural, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Aspek eksternal dari kebangkitan pendidikan ilmu falak kita mesti ditaksir, setidaknya melalui dua hal; seberapa fleksibel kita merespon lajunya persaingan global, dan seberapa jauh kita mempunyai pedoman untuk memahami mobilitas gagasan, yang pada akhirnya berorientasi kepada perbaikan kualitas kemanusiaan dan peradaban secara keseluruhan.

Sudah semestinya para akademisi kita memikirkan hal ini sebagai sebuah kebutuhan yang esensial, jika kata mendesak dirasa kurang tepat. Karena momentum pandemi dan kian masifnya globalisasi, sejatinya bukanlah arena untuk sekedar menjadi penonton yang hanya bisa berdiam diri.

Muchammad Thoyib As

Karena setiap cerita memiliki makna~

Share

Tinggalkan Balasan