Pengembangan Astronomi di Indonesia Diliputi Tanda Tanya
Sejatinya, dalam mengarungi peradaban, tiap-tiap manusia dituntun oleh beragam imajinasi. Itu pula yang mengantarkan kita mencapai apa yang kini kita sebut sebagai kemajuan teknologi. Adalah Galileo Galilei (1564-1642) yang menginspirasi pengamatan antariksa modern setelah berhasil mengamati kawah-kawah bulan dengan menggunakan teleskop buatannya sendiri. Hal itu tak dapat dipisahkan dari bagaimana ia berimajinasi tentang bentuk benda langit dan susunan tata surya yang semula tak pernah terbayangkan. Dari tonggak sejarah tersebut, umat manusia di seluruh penjuru dunia pada akhirnya menyadari bahwa sebenarnya ada ‘dunia baru’ yang amat menarik dan layak untuk dijelajahi demi menjawab misteri asal-usul alam semesta. Ini benar-benar menjadi sebuah gebrakan yang melahirkan banyak temuan-temuan baru tak hanya di bidang keantariksaan dan astronomi, tapi juga sains secara umum. Lalu, bagaimana dengan ekosistem invensi dan pengembangan sains di Indonesia?
Komitmen Pemerintah dan Tantangannya
Pada prinsipnya, sebagaimana upaya perencanaan pembangunan nasional, pemerintah telah menyusun beberapa strategi percepatan pembangunan yang tertuang dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) sebagai wujud komitmen sekaligus kontribusi terhadap pencapaian agenda pembangunan pemerintah dalam rangka menyelesaikan permasalahan serta isu-isu strategis nasional termasuk pengembangan sains secara umum, dan riset serta inovasi secara khusus.
Namun, bagaimanapun, cita-cita nasional sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 sampai saat ini masih jauh panggang dari api. Meski pada beberapa indikator seperti tingkat kemiskinan, indeks pembangunan manusia, dan laju pertumbuhan ekonomi kita menunjukkan tren positif beberapa waktu kebelakang. Namun di sisi lain, masyarakat Indonesia masih dihantui oleh keterbelakangan di bidang sains. Hasil studi terbaru oleh PISA maupun TIMSS serta PIRLS menunjukkan bahwa murid Indonesia tertinggal pada kemampuan berpikir tingkat tinggi. Kemampuan membacanya juga tertinggal bila dibandingkan dengan teman-teman sebayanya.
Selain itu, masih ada persoalan di bidang keamanan dan ketertiban yang meresahkan, serta ketidakadilan yang belum ada tanda-tanda akan segera berakhir. Pun hiruk-pikuk dan kegaduhan menuju tahun politik 2024 yang kerap diperlihatkan oleh elite bangsa di segala tingkatan. Upaya dalam memperbaiki keadaan bangsa oleh para penguasa justru sering kelihatan kurang kompak. Koordinasi antarsatuan kerja pemerintahan bukan saja lemah, bahkan bisa dibilang saling menelikung. Kementerian negara lebih banyak menunjukkan entitas kerajaan, manajemen pemerintahan by trial and error, dan sistem otonomi yang dibelenggu mindset sentralistik. Beberapa hal tersebut adalah jalan terjal yang masih harus kita perbaiki bersama demi mewujudkan cita-cita nasional yang mulia.
Anomali Pengembangan Sains & Astronomi
Pemerintah telah mengakui bahwa peningkatan sumber daya manusia serta kapabilitas nasional di bidang sains dan teknologi menjadi hal yang sangat penting untuk meneguhkan posisi Indonesia di kancah global. Lebih lanjut, pemerintah juga memahami bahwa inovasi dalam negeri akan dapat mengembangkan solusi yang bermanfaat langsung bagi masyarakat lokal. Namun, beberapa anomali justru mewarnai usaha-usaha penyelesaian permasalahan dan isu-isu strategis pada sektor iptek tersebut. Sebut saja reformasi kelembagaan berupa integrasi dari seluruh unit organisasi pelaksana fungsi penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan di Indonesia.
Hari ini (27/1), akan menjadi hari terakhir bagi Laboratorium Stasiun Observasi Antariksa dan Atmosfer Pasuruan untuk beroperasi. Balai yang dulunya dikenal sebagai LAPAN Pasuruan ini sejatinya telah mengabdi sejak tahun 1983. Dan banyak memberikan kontribusi di bidang pengamatan matahari dan atmosfer tak hanya bagi kepentingan nasional, tapi bahkan hingga internasional. Selain itu, sebagai bagian dari tupoksinya, LAPAN Pasuruan juga memenuhi kebutuhan data dan edukasi antariksa bagi masyarakat di Jawa Timur. Ditutupnya balai ini adalah satu dari sekian banyak konsekwensi yang harus diambil manakala pemerintah menghendaki adanya integrasi lembaga riset.
Pengintegrasian semacam ini justru berpotensi menyembunyikan dua akar masalah pokok pengembangan sains di Indonesia saat ini. Yaitu tata kelola pendidikan yang buruk (poor education governance) dan sumber daya manusia (SDM) yang kurang kompetitif. Barangkali, utak-atik kelembagaan di balik narasi reformasi internal jauh lebih mudah dan enak daripada memperbaiki tata kelola pendidikan dan menyiapkan SDM yang kompeten. Untuk memenangkan visi Indonesia Maju 2045, ekosistem inovasi dan pengetahuan tidak mungkin disiapkan dengan cara-cara lama dengan mentalitas production lines, batch processes, dan standardisasi semacam ini. Belum lagi jika kita bicara sarana pra-sarana. Science and technology park (STP) yang diharapkan menjadi suatu wadah yang dapat memfasilitasi terjalinnya kerjasama antara penyedia dengan pengguna iptek justru kerap mengalami kondisi layu sebelum berkembang. Selain itu, urgensi edukasi yang juga sering bersebrangan dengan kepentingan politik pemerintah setempat membuat STP justru didevitalisasi. Kasus terbaru adalah seperti yang menimpa Planetarium Jakarta di komplek Taman Ismail Marzuki (TIM).
Momentum Tahun Istimewa Astronomi Indonesia
Indonesia sesungguhnya memiliki potensi sains yang instimewa. Leluhur kita bahkan memiliki tak hanya daya imajinasi. Namun juga rasa, karsa, dan karya yang luar biasa sehingga mampu mewariskan bangunan kelas dunia seperti Candi Borobudur dan Prambanan. Kehebatan dan kebesaran peninggalan itu bukan semata terletak pada wujud fisiknya. Tetapi juga dari nilai-nilai filosofis kehidupan yang terkandung di dalamnya.
Pada tahun ini, sejatinya kita memiliki momentum yang luar biasa untuk membangkitkan kembali reputasi sains Indonesia khususnya astronomi di mata dunia melalui peringatan satu abad observatorium Bosscha dan fenomena gerhana matahari hibrida yang akan terjadi pada 20 April 2023. Memang, untuk mendorong kembali pengembangan sains yang meliputi budaya riset, tulisan ilmiah, dan inovasi pendidikan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun, bagaimanapun, kultur akademik yang kian terkikis ini harus tetap digiatkan kembali secara perlahan mulai dari sekarang. Mengingat Indonesia sudah jauh tertinggal.
Astronomi sebagai salah satu cabang sains sejatinya amat inspirasional dalam berbagai aspek kehidupan; mulai dari spiritual, budaya, seni, kreativitas, dan masih banyak lagi. Oleh karenanya, perlu dipertimbangkan untuk mengkategorikan astronomi yang transedental ini sebagai sains alam fundamental kaitannya dengan pengembangan sains di Indonesia.
Untuk melakukan transformasi proses bisnis dan manajemen riset secara menyeluruh untuk percepatan peningkatan sumberdaya iptek yang berkualitas dan berdaya saing, seharusnya kita justru perlu membebaskan para saintis dari ‘monopoli’ kelembagaan dan mendesentralisasikan pengembangan sains ke daerah. Yang perlu dikembangkan adalah jejaring inovasi (innovation webs) dengan akses yang terjamin, serta berorientasi sesuai dengan bakat dan minat para pegiatnya. Dalam hal ini para saintis dan inovator. Itu akan lebih cost-effective daripada pengintegrasian yang justru riskan mengeruhkan invensi-inovasi yang sedang terbangun.
Kemudian, perlu ada upaya pancingan (trigger) baik dari pemerintah ataupun kolaborasi di antara institusi terkait, baik formal maupun non-formal. Agar budaya ilmiah tetap tumbuh dan berkembang. Hal ini bisa dilakukan misalnya melalui kegiatan-kegiatan seperti seminar, lomba penelitian, ataupun call for paper dengan memanfaatkan potensi sarana prasarana yang telah ada, yang nantinya, hasilnya dapat diterbitkan dalam bentuk jurnal.
Selain itu, peran yang juga penting untuk dijalankan oleh pemerintah ialah memperluas akses terhadap sumber pengetahuan. Misalnya memberikan akses gratis untuk koleksi jurnal online (e-jurnal) sebagai referensi, atau memberikan subsidi bagi jurnal-jurnal ilmiah yang terakreditasi. Bagaimanapun, muara dari pengembangan sains ini adalah pembangunan budaya bangsa. Jadi, hakikat dari seluruh usaha kolektif pengembangan sains tak lain ialah agenda untuk membudidayakan anak-anak bangsa demi memakmurkan dan memajukan penduduk bumi bersama dengan bangsa-bangsa lain. Oleh karenanya, lewat sains yang berkembang, kita akan mampu mengantarkan generasi penerus kita menjadi warga dunia yang berbudaya dan berkeadaban. Sembari merayakan anugerah hidup dalam bingkai keberagaman.