Menilik Fanatisme dan Dinamika Politik: Tantangan Menuju Kampanye yang Edukatif dan Kondusif
Barangkali, di benak beberapa pihak yang belum melek politik, fenomena kampanye dimaknai sebagai sebuah hegemoni yang penuh keriuhan dan cenderung ‘menggiurkan’. Konvoi motor jamak ditemui di jalan-jalan protokol perkotaan hingga gang-gang sempit di pedesaan. Belum lagi pekikan dari orator yang naik di atas mobil komando, lengkap dengan bendera dan simbolisme partai yang begitu meriah, bisa jadi dianggap sebagai sebuah hiburan gratis pelengkap hiruk-pikuk kehidupan.
Siapa tahu, hal-hal tersebut bahkan telah dimaknai sebagai sebuah proses pendidikan politik dan sosialisasi mengenai kesadaran tentang hak-hak sebagai subyek politik. Dengan mengenal warna bendera dan simbol partai, apalagi ditambah dengan mendengarkan pidato-pidato yang eksesif dari para politisi, baik secara langsung di lapangan maupun melalui layar televisi, membuat pihak-pihak yang belum melek politik ini merasa memiliki cakrawala yang lebih luas. Selain itu, mendengarkan jargon-jargon politik yang repetitif, meskipun sebenarnya banyak yang nirmakna karena hanya berhenti di kata-kata, membuat khasanah mereka makin komplet.
Bagi mereka yang tak mengerti makna sesungguhnya dari kampanye, warna bendera, simbol-simbol partai, pidato, hingga jargon politik, sudah cukup membuat mereka ‘memilih’ yang terbaik menurut ukuran dan cita rasa sederhana dalam frame pemahaman mereka yang sempit. Mereka ‘memilih’ partai atau politisi tertentu hanya karena faktor transaksional, karena sesuatu yang mereka dapat, karena janji-janji yang memikat hati.
Fanatisme
Begitulah barangkali potret yang kerap kita temui di kehidupan sehari-hari menjelang pilpres 2024 yang akan dihelat bulan depan. Begitulah mayoritas masyarakat kita mengenal ‘kegembiraan’ kampanye, mengetahui semangat partai dan kegigihan para politisi meneriakkan inti perjuangan partainya, dan hubungannya dengan cita-cita kesejahteraan masyarakat. Meski terlibat sejak awal, ironisnya, banyak dari masyarakat kita yang masih tak mengerti, atau setidak-tidaknya kesulitan dalam memahami kata per kata secara harfiah dari apa yang disampaikan oleh para politisi atau caleg yang mereka dengarkan pidatonya, apalagi hingga menggali makna-makna simbolisnya. Bagaimanapun, dalam ketidakmengertian itu, mereka sudah berpartisipasi untuk memeriahkan pesta politik kita di Indonesia.
Berbeda hal dengan kaum terpelajar. Bagi mereka, kampanye telah memiliki makna yang lebih luas. Mereka sudah paham platform perjuangan partai. Mereka pun mungkin sudah mengerti mana partai terbaik untuk dipilih. Beberapa dari kelompok mereka bahkan sudah memiliki suatu idealisme tertentu. Meskipun barangkali rumusannya masih belum fokus, tidak politis, dan tidak pula bersifat ideologis.
Tapi, ada satu hal yang lebih jelas dan makin gamblang terlihat di setiap masa kampanye telah dimulai; pada mereka sudah muncul fanatisme. Kita bisa menyebutnya fanatisme ‘naif’. Atau kita bisa pula memberinya label fanatisme semu. Kenapa? karena kemungkinan besar, mereka pun juga belum begitu paham untuk apa fanatisme itu mereka perjuangkan, dan apa makna sesungguhnya bagi kehidupan sosial mereka.
Urgensi Pendidikan Politik
Namun, bagaimanapun, fanatisme, baik yang jelas maupun yang semu sekalipun, tetaplah fanatisme. Fanatisme ‘naif’ maupun yang ‘rasional’ kerap membawa konsekuensi yang tak terduga, pun tak masuk akal. Di kalangan kita, khususnya kaum-kaum terpelajar, baik yang masih muda maupun yang telah berusia senja, fanatisme terhadap pilihan politik kerap kali membuat mereka dengan suka rela berdebat dengan koleganya sendiri. Di satu titik bahkan sampai berkelahi hingga babak belur, ada pula yang akhirnya merembet hingga melibatkan perkelahian kelompok, yang parahnya, tidak akan membawa manfaat apapun kecuali kesadaran di kemudian hari, bahwa sebetulnya mereka telah terlampau jauh termakan oleh fanatisme hingga menegasikan kesadaran eksistensialnya.
Banyak pula yang pada akhirnya beranggapan bahwa kampanye, atau bahkan seluruh tahapan pemilu ini, tak begitu membawa perubahan berarti bagi kehidupan mereka. Ada atau tidaknya kampanye dan pemilu, hidup mereka tak berubah secara signifikan. Hal-hal inilah yang kerap kita lupakan, bahwa sebuah perubahan membutuhkan proses konstruktif yang panjang dan bersifat komunal. Tahapan kesadaran ini bisa kita sebut sebagai sebuah kesadaran rasional, bukan lagi ‘naif’. Bahwa berkelahi dengan yang memiliki pilihan politik yang berbeda dengan kita adalah sungguh tak masuk akal.
Tapi anehnya, dalam kampanye dan pemilu lima tahun berikutnya, perkelahian semacam itu kerap berulang karena fanatisme yang sama. Mereka yang terlibat perkelahian mungkin bukan orang-orang yang dulunya pernah terlibat. Namun, fanatisme sudah kadung berpindah ke pihak lain. Dan bisa jadi, sistem yang ada saat inilah yang ‘memelihara’ perpindahan fanatisme yang berulang ini. Apalagi jika dibalut dengan kentalnya ideologi tertentu, yang sebetulnya juga tak dipahami baik-baik oleh masyarakat. Difusi dari sistem demokrasi yang belum matang dengan minimnya eksposur pendidikan masyarakat kita, barangkali menjadi sebab utama mengapa ekosistem politik kita senantiasa mendidih setiap lima tahun sekali.
Kesadaran Politik
Seluruh partai, dan para politisi yang terlibat dalam penyelenggaraan kampanye dan/atau menjadi peserta pemilu, harusnya memiliki tanggung jawab moril atas terciptanya situasi yang kurang kondusif semacam itu. Komitmen dan langkah-langkah konkret harus diambil oleh seluruh pihak untuk mencegah hal-hal destruktif ini terus terjadi. Karena pada hakikatnya, kampanye hanyalah usaha untuk meyakinkan masyarakat bahwa suatu partai memiliki ideologi sekaligus program kerja yang jelas.
Inilah yang seharusnya dipaparkan secara persuasif dan simpatik kepada khalayak ramai. Sehingga kampanye tak hanya sebatas mendulang suara. Tapi sekaligus sebagai media pendidikan, penyadaran, dan rayuan yang dilakukan secara etis dan terhormat. Seorang politisi harus bisa mempersuasi masyarakat, khususnya konstituennya, melalui kemampuan komunikasinya, bukan malah hasutan yang mendegradasi makna kompetisi.
Ideologi dan program yang disajikan harus solutif dan memiliki faktor ‘pengubah’ bagi keadaan sukar masyarakat, tidak hanya normatif. Meskipun menang atau terpilih masih kerap menjadi tujuan utama dalam pemilu, namun yang harus disadari, itu baru berhak dibicarakan setelah seorang politisi mampu memberikan sumbangsih nyata bagi masyarakat dan lingkungannya. Tapi, dilihat dari perspektif yang lebih luas, bukan kata ‘menang’ itu yang terpenting, melainkan pendidikan politik. Syukur bila proses pendidikan itu sendiri telah membuka kesadaran politik sebagai warga negara yang bertanggung jawab, dan memiliki wawasan kebangsaan yang bijak.
Politik Adiluhung
Lalu, bagaimana dengan dinamika politik yang kerap tersaji? baik yang tersurat maupun yang tersirat? yang masih didominasi dengan kampanye negatif dan kampanye hitam? Memang, harus diakui bahwa di seluruh dunia permusuhan dalam politik kerap terjadi, baik di saat kampanye, hari H pemilu, dan bahkan di hari-hari sesudahnya. Namun, apakah karena itu terjadi di seluruh dunia, lalu kita menganggapnya sebagai sebuah kewajaran? Apakah permusuhan semacam itu kemudian kita terima dengan baik sebagai bagian dari dinamika politik? mestinya tidak. Kita senantiasa memiliki peluang untuk bisa menyelenggarakan kampanye dan pemilu yang lebih bermutu, lebih edukatif, dan tentu lebih kondusif.
Apakah hal semacam itu realistis? Ya, kalau kita memang telah selesai dengan masing-masing diri kita, bergotong royong sebagai sebuah bangsa, kita mestinya bisa mengusahakannya. Bayangkan jika Pak Anies dan Pak Prabowo hadir di kampanye Pak Ganjar. Kemudian beliau berdua turut memberikan support demi suksesnya kampanye Pak Ganjar, begitu pun sebaliknya, bergantian di kesempatan yang lain. Dengan sikap kenegarawanan dan persahabatan yang tulus demi kepentingan bangsa, hal itu bukanlah sekedar fantasi, namun akan dapat terealisasi. Namun, kembali lagi, tergantung bagaimana komitmen para elit memaknai ‘kompetisi.’
Sekali lagi, barangkali saat ini perumpamaan di atas masih tampak naif, atau bahkan lebih mirip seperti lelucon. Tapi, apa salahnya jika sebuah lelucon menjadi salah satu warna pada politik kita yang masih didominasi perdebatan, pertengkaran, dan kemarahan? barangkali unsur yang lebih santai seperti lelucon semacam inilah yang nanti, entah kapan, mampu menjadi pionir politik yang adiluhung. Politik yang penuh kebenaran dan warna moral. Politik yang mampu melahirkan satrio piningit yang bersedia keringatan demi rakyat, dan bukan sekedar kering ingatan akan rakyatnya.
Calon Dosen Tamu di Strategic Leadership 2026
hahaha amin