Bangsa Terlena, Guru pun Merana

kasus guru yang terjerat kasus hukum dan bahkan mengalami kekerasan di Indonesia

Belakangan, kasus guru yang terjerat kasus hukum dan bahkan mengalami kekerasan di Indonesia kian mengkhawatirkan. Salah satu contoh nyata adalah kasus Supriyani; seorang guru honorer di Konawe Selatan yang harus menghadapi proses hukum setelah orang tua siswa melaporkannya atas tuduhan kekerasan. Padahal, niat guru seperti Supriyani dalam menerapkan disiplin pada siswanya merupakan bagian dari upaya membentuk karakter anak (Saputri dkk, 2023). Fenomena semacam ini kian menegaskan bahwa di era disrupsi seperti saat ini, para pendidik, terutama guru honorer, sering kali berada pada posisi yang dilematik. Di satu sisi berkewajiban untuk mengajari siswa menjadi insan cendekia. Di sisi yang lain, dihadapkan pada beban finansial dan risiko hukum yang siap mengancam. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan besar mengenai bagaimana kita, sebagai sebuah bangsa, menghargai guru sebagai pilar pendidikan.

Filosofi Guru

Mengacu pada filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara, pendidikan seharusnya berfokus pada pengembangan karakter anak-anak bangsa. Ki Hadjar menekankan bahwa pendidikan seyogianya merupakan proses “memanusiakan manusia” di mana guru memiliki peran sebagai pengayom, pembimbing, dan role model bagi siswanya (Al Majeed dkk, 2024). Pendidikan yang ideal bukan sekadar mempersiapkan anak didik untuk mendapatkan nilai akademis yang paripurna; tetapi juga membentuk moral, kemandirian, dan tanggung jawab sosial mereka. Sayangnya, filosofi ini tampaknya belum sepenuhnya terelaborasi dalam praktik pendidikan kita saat ini, di mana sikap guru masih kerap disalahpahami. Sementara di sisi yang lain, sistem pendidikan juga kurang memberikan dukungan dan apresiasi yang proporsional.

Transformasi Pendidikan

Dengan semangat transformatif, pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah berani dengan memecah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menjadi tiga entitas terpisah. Langkah ini disebut bertujuan untuk meningkatkan fokus dan efisiensi dalam pengelolaan pendidikan di berbagai tingkatan; sehingga masing-masing sektor bisa berjalan lebih optimal dalam menyiapkan generasi Indonesia yang unggul; yang amat terkait erat dengan proses pengajaran oleh seorang guru. Sistem ini juga sebagai respon atas masukan dari banyak pihak bahwa luasnya cakupan wilayah dan jumlah penduduk Indonesia memerlukan pendekatan yang lebih terfokus.

Early Warning

Sebenarnya, kasus yang menimpa Supriyani ini dapat dijadikan early warning bagi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah yang kini menjadi stakeholder terkait; sekaligus contoh nyata betapa profesi guru di Indonesia sebenarnya masih sangat rentan. Dalam kasus Supriyani, terlihat bahwa upayanya dalam menerapkan disiplin bisa saja sesuai dengan semangat pembentukan karakter yang diajarkan oleh Ki Hadjar Dewantara. Namun, ketidakpahaman antara batas disiplin dan kekerasan kerap kali menyebabkan tindakan guru disalahartikan oleh berbagai pihak. Apalagi di tengah ketidakpastian hukum yang sering kali belum sepenuhnya berpihak pada guru.

Bak gayung bersambut, Ketua Umum PB PGRI, Unifah Rosyidi, awal bulan ini juga telah mengusulkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Guru yang diharapkan tidak hanya akan melindungi guru, tetapi juga siswa. RUU ini bertujuan untuk memastikan bahwa kegiatan belajar mengajar akan berlangsung dalam lingkungan yang positif dan saling menghargai. Meski sejatinya sudah ada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang secara eksplisit menjamin perlindungan mereka dalam melaksanakan tugas; namun Unifah menilai guru selalu dihadapkan dengan undang-undang lain yang setara ketika menyampaikan pembelaan. Sehingga sering kali dihadapkan pada risiko kriminalisasi ketika mereka mencoba mempertahankan disiplin di kelas.

Peningkatan Kompetensi Guru

Selain perlindungan hukum, kualitas dan pelatihan profesional guru juga seyogianya menjadi prioritas. Dalam bukunya yang berjudul Strategi Transformasi Bangsa Menuju Indonesia Emas 2045, Presiden Prabowo Subianto sejatinya telah menekankan peningkatan pelatihan guru sebagai bagian dari program prioritas pendidikan nasional. Pelatihan yang komprehensif semacam ini penting untuk direalisasikan agar dapat memberikan guru-guru seperti Supriyani bekal dalam menghadapi berbagai karakter siswa serta pendekatan pedagogis yang tepat sehingga ke depan, konflik serupa dapat dihindari. Lebih jauh, upaya ini juga akan dapat membantu menciptakan ekosistem pendidikan yang lebih aman dan nyaman bagi semua pihak; dengan tetap memprioritaskan kedisiplinan tanpa harus menimbulkan sebuah gesekan.

Yang perlu diingat adalah bahwa apa yang dialami oleh Supriyani ini bukanlah kasus hukum pertama dan satu-satunya yang menimpa guru di Indonesia. Sebelumnya, ada pula kasus Pak Sambudi di Sidoarjo yang divonis penjara tiga bulan karena mencubit siswanya. Ada pula kasus Zaharman di Bengkulu yang mengalami intimidasi dari keluarga siswa setelah berusaha menegur siswanya yang merokok. Tak menutup kemungkinan bahwa kasus-kasus seperti ini akan terus bermunculan dan justru berpotensi menimbulkan trust issue antara masyarakat dan pihak sekolah. Serta memunculkan ketegangan di akar rumput terkait hak dan kewajiban guru dalam mendidik. Oleh karena itu, kasus semacam ini memerlukan pengelolaan yang cepat, bijak, dan profesional; agar tidak berlarut-larut dan justru kontra produktif dengan semangat transformasi pendidikan Indonesia.

Relevansi dengan Indonesia Emas

Bagi pemerintahan yang baru, isu ini tentu menjadi urgensi tersendiri yang harus segera disikapi sebelum melangkah lebih jauh menuju visi Indonesia Emas 2045. Ketika guru, yang berperan penting dalam pembentukan karakter bangsa, merasa tertekan dan bahkan terintimidasi; tentu tujuan besar untuk membangun SDM unggul akan menjadi sulit terwujud. Pada akhirnya, kita juga perlu menyadari bahwa kualitas pendidikan bukan hanya soal nilai kuantitatif semata; tetapi juga pembentukan karakter dan keberanian untuk mengupayakan kebaikan bersama.

Barangkali, beberapa fenomena dilematik ini juga merupakan akumulasi dari terlalu nyamannya kita dengan anggapan bahwa guru merupakan ‘Pahlawan Tanpa Tanda Jasa;’ hingga lupa bahwa mereka adalah garda terdepan penjaga nilai-nilai bangsa. Jadi, jika kita memang masih mau berpegang pada julukan ‘mulia’ itu sebagai alasan untuk menutup mata pada kesejahteraan mereka; maka jangan terkejut jika suatu hari profesi ini tak lagi diisi oleh sosok-sosok cerdas nan berdedikasi. Melainkan sekadar mereka yang datang ke kelas dan membiarkan para siswa berkeliaran bebas. Lantas, apakah kita benar-benar sedang menuju Indonesia Emas?

Muchammad Thoyib As

Karena setiap cerita memiliki makna~

Tinggalkan Balasan