Timnas Indonesia: Antara Momentum Kebangkitan dan Euforia Nasionalisme

Tim nasional (timnas) senior sepak bola Indonesia berhasil memetik kemenangan dan memastikan langkah untuk dapat menuju ke babak final kejuaraan ASEAN Football Federation (AFF) 2020 setelah melibas tim singa Singapura di laga penuh drama yang berakhir dengan skor 4-2 yang berlangsung pada Sabtu (25/12) pekan lalu.
Kemenangan ini menorehkan sejarah baru bagi sepak bola negeri ini. Betapa tidak, setelah hanya tenar dengan julukan spesialis runner up dengan lima kali masuk ke babak final tanpa sekalipun merebut gelar juara, kali ini, asa untuk menyandang status sebagai raja sepak bola Asia Tenggara kembali terbuka, hal ini juga sekaligus menjadi pelipur setelah di perhelatan piala AFF sebelumnya (tahun 2018) kita harus puas terpuruk di fase penyisihan.
Tahun ini, di semi-final leg ke-2, Asnawi dan kawan-kawan berhasil menumbangkan tim tuan rumah yang notabene menempati posisi 160 ranking Fédération Internationale de Football Association (FIFA), terpaut 4 angka di atas Indonesia. Dalam rilis terbarunya per kamis (23/12) malam waktu Indonesia barat, FIFA sebagai induk sepak bola internasional bahkan menyebut Indonesia sebagai tim dengan peningkatan poin terbesar dan tim Asia paling berkembang dengan tambahan sebesar 11,13 poin. Ini bukan saja sejarah dalam sepak bola nasional, melainkan juga kebangkitan sepak bola muda Indonesia. Lebih jauh, prestasi luar biasa dari skuad asuhan pelatih Shin Tae-Yong ini dapat menjadi pemicu sekaligus momentum kebangkitan bagi bangsa Indonesia yang sedang mulai meniti keluar dari jerat pandemi.
Pada laga final nanti, Indonesia hadir sebagai tim dengan rataan usia yang cukup muda, 23,8 tahun, berbanding lurus dengan status lini depan tertajam dalam perhelatan dua tahunan ini. Sejak fase grup hingga semifinal, timnas Indonesia terhitung telah mencetak 18 gol dari total enam laga yang dijalani. Hal ini tak lepas dari penampilan enerjik, kerja keras, dan kepercayaan diri yang ditampilkan skuad garuda sepanjang turnamen. Namun, di balik itu semua, kita juga musti melihat sosok Shin Tae-Yong yang dengan tangan dinginnya telah meracik sebuah skuad muda yang sejatinya minim jam terbang namun memiliki mental bertarung yang sangat apik. Barangkali, ini adalah salah satu hal yang menjadi kunci keberhasilan sekaligus kebangkitan yang ditunjukkan oleh timnas sepak bola kita belakangan ini. Dengan trauma berkepanjangan akibat status runner-up yang senantiasa menghantui, di turnamen kali ini, trauma ini seakan hilang tak berbekas sebab tempaan mental yang begitu keras oleh pelatih yang sempat membawa timnas Korea Selatan menghancurkan Jerman 2-0 di piala dunia 2018 ini.
Hal inilah yang patut menjadi perhatian bersama. Kekuatan mental, etos kerja yang tinggi dan gotong-royong adalah beberapa faktor penting yang harus terus digalakkan supaya tidak pudar ditelan zaman atau bahkan kehilangan eksistensi di tengah belantara kehidupan sosial masyarakat Indonesia, utamanya pada generasi muda kita. Apalagi, menjelang tutup tahun, Indonesia sedang tak baik-baik saja. Berbagai isu dan masalah sosial satu per satu menguap ke permukaan, sebut saja varian baru virus corona, omicron; isu ujaran kebencian yang seakan tak pernah berhenti berseliweran; hingga kesiapsiagaan kita sebagai sebuah bangsa diuji dengan berbagai bencana alam yang datangnya tiba-tiba dan terjadi dalam kurun waktu yang berdekatan. Berbagai hal tersebut seakan hendak menakar sebesar apa nalar kebangsaan dan soliditas kita dalam menghadapi isu-isu tersebut dengan tetap mengedepankan kearifan dan kebijaksanaan kita sebagai sebuah bangsa yang utuh.
Corak Budaya
Banyak penjelasan yang tentunya terkait dengan berbagai fenomena sosial di atas. Namun, jika kita tilik dari perspektif kebudayaan, setiap zaman memang kerap memiliki tantangannya sendiri. Namun, satu hal yang pasti, semua itu berkorelasi positif dengan pertumbuhan mental dan kebudayaan bangsa yang kian adi luhung dalam menyikapinya. Kita dituntut untuk menjadikan fenomena dan berbagai isu sosial tersebut sebagai sebuah pijakan untuk terus berjalan dan akhirnya menemukan jati diri kita sebagai sebuah bangsa yang kian dekat dengan sikap-sikap keluhuran.
Jati diri inilah yang dulu sempat disinggung oleh founding father kita sebagai character building. Character building inilah yang harus terus diterapkan pada seluruh aspek kebangsaan kita dewasa ini, apalagi dengan tantangan global yang kian masif lewat digitalisasi dan revolusi industri. Jika kita runtut kronik modernitas di Indonesia, kesadaran akan pentingnya pembangunan mental bangsa sudah dimulai sejak masa pergerakan Indonesia di awal abad ke-20. Lewat Pancasila dan berbagai proyek politik lainnya, Bung Karno bersama para negarawan lain sukses menyemaikan proses pembangunan karakter bangsa. Kehebatan sikap itu tecermin dalam pergaulan internasional lewat Konferensi Asia-Afrika dan gerakan yang semisal.
Pancasila musti dipahami secara utuh demi menggali dimensi-dimensi spiritualnya yang agung. Kini, kaum muda yang diwakili oleh timnas di piala AFF seakan membangkitkan kembali memoir kejayaan dalam sejarah perjalanan bangsa lewat perjuangan yang tak kenal letih di piala AFF 2020. Sejatinya, peran penting kaum muda bukanlah sekadar sebagai generasi penerus bangsa semata. Lebih dari itu, kaum muda adalah aktor-aktor perubahan itu sendiri.
Tanpa berapriori terhadap pihak mana pun, apa yang telah ditunjukkan oleh pelatih Shin Tae-Yong sejauh ini adalah sebuah pelajaran nyata bagi kita. Pelatih kelahiran Oktober 1970 ini memilih untuk tetap mengusung konsep jangka panjang dalam menangani Nadeo cs ketimbang mempertahankan skuad mainstream yang kerap diusung oleh pelatih-pelatih timnas sebelumnya. Di sisi lain, sebagai seorang mantan pemain profesional yang menjunjung tinggi sportifitas, pelatih Shin telah memperlihatkan sebuah keteladanan yang luar biasa dengan menegur kapten timnas Indonesia, Asnawi Mangkualam, yang menurutnya telah melakukan tindakan yang tidak sportif kepada Faris Ramli, paska pemain nomor punggung 10 dari Singapura tersebut gagal mengeksekusi pinalti ke gawang Indonesia di penghujung laga semi-final leg kedua, sabtu (25/12) lalu. “Saya katakan jika itu terjadi sekali lagi saat saya melatih Timnas Indonesia, jangan pernah berpikir untuk main di tim ini lagi,” tegas Shin Tae-yong. Sebuah sikap yang amat langka di negara kita, di tengah perang utas yang justru banyak dipicu oleh meme berlandaskan euforia nasionalisme yang agak ‘kebablasan’.